Saturday, February 6, 2010

Menyalahkan dan disalahkan (sebuah refleksi singkat atas diri)



Langit berkelabu
Meresap dengan pudarnya biru
Menyambut datangnya hitam

Azan berkumandang
Besarnya kuasa Tuhan, begitu terdengar
Layang- layang berputar- putar menuruni singgasananya
Tanda bahwa pencipta ciliknya harus segera pulang dan membasuh diri

Tawa riang terdengar dari mulut- mulut kecil yang kering itu
Gigi hitam dan kuning mereka berpadu menciptakan euforia kebahagiaan
Kuku tangan berlapis hitam cokelatnya tanah dan kotoran
Kaki tak lagi beralas karet, tak lagi takut terinvasi cacing
Tanpa lelah, tanpa beban, mereka berlari menyambut datangnya malam
Tak ada gengsi, tak ada malu, hiduplah selama kau bisa,
Itu pesan eksplisit mereka
Aku hanya bisa memandang mereka dalam bisu

Air menetes menuruni pipi tanpa kusadari
Tawa mereka dan canda mereka tidak tampak riang bagiku
Semua ironi
Ironi belaka yang menamparku dan memaksaku turun untuk sekedar melihat posisiku,
Lalu membuatku menangis begitu nurani mulai mengetuk

Tangan kotor dan hitam itu menarik daguku
Mata besar yang penuh harap itu menatapku
Wajahnya kotor, dekil, korban matahari yang bersinar terik dari pagi ke siang
Ia hanya tersenyum dan menyeka air mataku dengan tangan kotornya
Pipiku sekarang kotor, bernoda tanah dan abu, tapi aku tidak tersinggung
Lalu ia berlari menjauhiku dan kembali menari- nari riang di kerumunan kerdil itu

Aku bangkit dan melangkah pulang
Sudah cukup aku disalahkan
Kenapa sekarang aku harus menyalahkan?

No comments:

Post a Comment