Friday, November 11, 2011

Masih boleh, kan?


........

Jadi,
satu tahun membentang di depan.
luas, tak terkira, tak terduga.

akan ada masalah. pilihan. ketidakpastian.
karena memang itulah hidup.
satu tahun bertambah di depan bukan berarti saya tetap berjalan di tahun yang lama, bukan?
dan semua elemen hidup itu harus tetap saya hadapi nantinya,
dengan pendirian yang baru.
menjadi dewasa, bukan?

lantas...

yakin bisa sendiri?
yakin kuat?



entah kenapa saya harus kembali bersandar.
masih boleh kan saya kembali?
masih mau kan menerima saya?

---


*untuk yang saya ajak bicara cukup lama subuh ini. it's been quite a while.

Wednesday, November 9, 2011

Tuhan

satu pertanyaan saja.
maaf kalau lancang.


kami semua hilang.
mengapa Kau harus ikut menghilang?



Sunday, November 6, 2011






saya berharap dua bulan terakhir ini cepat-cepat berakhir,
sehingga saya bisa cepat-cepat menaruh harapan pada tahun yang baru.





Tuesday, October 25, 2011

Monday, October 24, 2011

yes i'm a freakin loner who converse with my own blog. sebodo.

apa yang harus dilakukan ketika segala sesuatunya tampak tak beres?
ketika hari yang dilalui begitu lelah dan berantakan,
ketika pilihan yang kamu buat terasa salah,
ketika malam-malam terasa panjang karena insomnia musiman,
ketika daftar to do list memanjang seperti ular-ularan tangga,
ketika daftar tugas berusaha menyaingi daftar to do list,
ketika tatapan yang kamu terima terasa dingin,
ketika otakmu hanya bisa memainkan prasangka buruk,
ketika pekerjaan yang kamu nanti tak kunjung datang,
ketika narasumber yang harus diwawancarai tak membalas,
ketika kabar buruk datang,
ketika ibumu terbaring sakit di rumah dan tak ada yang mengabarimu karena tak ingin kamu kuatir,
ketika kamu ingin menorehkan senyum di wajah mereka tapi hanya kegagalan yang akhir-akhir ini kamu buat,
ketika tak ada orang asing yang bisa disampahi,
ketika teman-temanmu terasa jauh,
ketika dirimu sendiri terasa jauh,
ketika buku itu hanya bisa kamu simpan di laci terbawah karena kamu merasa terlalu bersalah,
ketika harapan dan doa tak pernah lagi kamu panjatkan tiap malam.

apa yang harus dilakukan?
ooo

seingat saya, dulu saya masih punya kamu.
saat otak saya masih kreatif dan komunikasi antara kita berjalan lancar.
kamu saya sapa dengan ringan,
dan dengan mudahnya saya bercerita.
kamu seolah mendengarkan.
lalu mengapresiasi.
waktu berjalan cepat, hari berganti, dan saya seringkali lupa waktu.
namun saya puas,
dan beban yang sebelumnya menekan terasa berkurang.

sekarang,
kamu lama tak saya kunjungi.
tak saya sapa.
disenyumi lagi saja jarang.
kamu sekarang berdebu. dangkal. kosong.
saya sadar, itu salah saya.

dan layaknya manusia normal lainnya,
kalau lama tak bertemu dan bertegur sapa
yang tersisa adalah kecanggungan, bukan?

apa begitu kita sekarang?
canggung?
karena sekarang saya tampaknya hanya mengetik kata-kata kosong tanpa arti,

dan beban ini tak terasa berkurang sedikit pun.

Wednesday, October 19, 2011

.

ada kesunyian yang panjang.
ruang yang sepi, kosong melompong.
sedikit penyesalan.
manajemen waktu yang buruk.

ada kenyataan.
memori yang berhenti berputar.
kosa kata yang terkekang aturan. pencitraan.
pemikiran yang tak lagi keluar dari kotaknya.
terbatas. biasa. membosankan.

kembali sebuah kesunyian,
ketika kata-kata untuk mengungkapkan kesunyian itu mengambil detik yang tersisa.
waktu berjalan.
tetap sunyi.
sepi, kosong melompong.

menyesal, ya. tapi apa daya.
ada kegetiran yang menyertai kegagalan.
senyum miris yang memutuskan untuk menyimpan maksud.
rasa rindu yang membuncah, namun tak tersalurkan.

they tell me your passion's gone away.
it is.

Wednesday, September 21, 2011

Laptop.

berhubung secangkir kopi sudah dibuat, aku memutuskan untuk duduk. mengambil posisi terenak untuk kembali mengumbar rindu padamu, tempat pembuangan emosi dan rasa.
rindu pada malam-malam larut dimana hanya kamu dan aku yang hidup, aku mencurahkan semua pikiranku dan kamu mendengarkanku dengan sabar, tak bersuara karena kamu tak perlu begitu.
kamu yang membutuhkan aku untuk tetap eksis, dan aku yang membutuhkan kamu untuk tetap berada di batas kewarasan dan kewajaran.
kamu yang membuat aku seringkali mendapat label introvert. tertutup. tapi mau kemana lagi aku pergi? hanya kamu dan secangkir kopi ini yang mau mendengar tanpa membantah. tanpa mengomentari. tanpa menghakimi.
karena kamu tahu kan, terkadang yang kita perlukan bukan nasihat, tapi telinga yang mau mendengar. toh terkadang sepi jauh lebih baik daripada ramai. meski terkadang ramai itu dibutuhkan juga, ketika sepi melampaui batas wajar dan waktu.

tempat sampah.
itu yang seringkali lebih dibutuhkan. tapi manusia cenderung terlalu sok tahu dan peduli untuk memberi komentar dan menggunakan mulutnya, tak mengindahkan telinga yang sebenarnya siap sedia.
dan aku tak perlu mulut saat ini, hanya telingamu dan kesunyianmu yang membius.
sementara aku mencurahkan semua yang tak terbendung, dan kamu terdiam. ditemani secangkir kopi, jarum jam yang terus berputar, dan senandung lagu yang terkadang kau utarakan karena permintaan dariku.

setia.
membisu.
saat ini kau yang kubutuhkan.
tapi jangan kira kau selalu menjadi kebutuhan.

satu permintaanku saat ini, tolong jangan rusak lagi,

laptop.



Thursday, July 21, 2011

eh patah hati lagi

cinta.
c i n t a .
c  i  n  t  a  .
c   i   n    t    a    .

coba uraikan huruf-huruf itu. pisahkan hingga berjauhan, sejauh mungkin.
ya, lebih jauh lagi.
lagi.
terus, sampai kau tak bisa melihat ujungnya, sehingga kau tak usah rampung membacanya,

sehingga kau tak perlu memahaminya.


cintacintacintacintacintacintacintacintacintacintacinta.

coba ucapkan berulang kali kata itu. sampai lidahmu kebas,
sampai cinta itu hanya menjadi sebuah kata aneh yang pengucapannya asing.
sebuah kata biasa dengan 5 huruf. c, i, n, t, dan a.

terus.
ulangi terus. terus. terus.


terus.

terus.

terus.

uraikan.

pisahkan.

ucapkan.

ulangi.

terus.

pejamkan mata.


sudah lupa?

sudah merasa asing?


.....................


1:47.
Sunday, 17 July'11

.

Ada sebuah kritik yang mengatakan bahwa ukuran dan perspektif untuk melihat eksploitasi perempuan dalam layar kaca terlalu tunggal dan moralistik, tanpa memperhatikan bahwa semua yang dilakukan para bintang sebenarnya adalah bagian terpenting dari survival strategic di tengah problem struktural yang makin sulit ditembus.
- "Perempuan dalam Layar Kaca, Eksplorasi atau Eksploitasi", Majalah Srinthil -


Apa yang sebenarnya terjadi'? Eksploitasi serta perendahan terhadap harga diri perempuan atau degradasi moral perempuan? 
kaum feminis boleh meneriakkan bahwa wanita dieksploitasi di media massa, melalui iklan-iklan komersial yang menampilkan tubuh wanita hingga sinetron-sinetron beralur cerita dangkal yang merendahkan martabat kaum wanita sebagai kaum yang lemah dan tertindas. namun ada beberapa kritik yang berusaha melihat fenomena ini dari sudut pandang lain, bahwa selama perempuan tersebut menyadari kemolekan dirinya sebagai aset yang bisa ia jual, perempuan tidak tereksploitasi. selama ia sepenuhnya sadar dan mengambil keuntungan atas tubuhnya untuk dirinya sendiri, tidak ada eksploitasi di sana (Irawan Karseno, pengamat iklan dan pekerja seni).
benar yang terjadi itu eksploitasi? atau degradasi moral? baik dari pihak wanita, maupun masyarakat yang membentuk persepsi pada awalnya?
budaya patriarki di masyarakat pada umumnya masih melihat wanita sebagai kaum sub-ordinat yang terdominasi oleh kaum pria. tak jarang wanita dianggap sebagai obyek seksual belaka, dianggap sebagai kaum lemah yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan pria sehingga tempatnya adalah di rumah atau di dapur, bahkan menurut pandangan yang lebih nyeleneh, tempatnya adalah di kasur. untuk memuaskan keinginan biologis pasangannya. 
pandangan seperti itu jelas-jelas suatu perendahan terhadap martabat kaum wanita. jelas-jelas eksploitasi terhadap harga diri wanita. 
however, ketika fenomena harga diri wanita ini dibawa ke layar kaca, yang terjadi malah fenomena yang lain lagi. fenomena yang berakar dari gabungan tuntutan atas kebutuhan hidup si perempuan, kepentingan kaum kapitalis maupun media massa, tuntutan dari masyarakat, serta tuduhan eksploitasi dari kaum feminis. bahwa perempuan di layar kaca sesungguhnya tidak sepenuhnya dieksploitasi, melainkan mereka sedang mencapai popularitas, membangkang (dalam artian positif) terhadap kungkungan nilai budaya, agama, serta kearifan lokal, dan survival strategic. 


maka kembali ke kritik di atas. selama wanita sepenuhnya sadar dan mengambil keuntungan atas tubuhnya untuk dirinya sendiri, tidak ada eksploitasi di sana
tampaknya para kaum feminis perlu belajar bahwa tidak ada yang mutlak dalam persaingan media massa dan periklanan. ranah layar kaca mungkin adalah sebuah dunia lain, dimensi lain dimana batasan moral serta tuntutan bertahan hidup melebur jadi satu.


tak ada yang mutlak. bahkan standar moral serta kebenaran itu sendiri pun tidak mutlak. 

Monday, May 16, 2011

dear boons

anyway. hanya mau mengingatkan. ingatkah kau tulisan di pojok kiri atas sana?

confiding place : a shoulder to cry on. a page to write on.

where else can i turn to?
setelah sebuah percakapan singkat yang emosional,
sesudah sehari penuh kesibukan dan ketegangan,

ijinkan saya melemparkan,
satu pertanyaan saja sebelum tidur.
pertanyaan retoris yang tidak saya harap jawabnya.


apa lagi yang bisa dilakukan selain bersikap kuat?

walaupun kuat itu sendiri semu dan tipu.

Monday, May 9, 2011

a hundred years

when you only got a hundred years to live.

dikurangi kemalasan untuk berolahraga.
dikurangi kebiasaan marah-marah.
dikurangi konsumsi makanan siap saji yang kadar berminyaknya tinggi.
dikurangi udara yang tidak sehat akibat kendaraan bermotor.
dikurangi kebiasaan melawan aturan alam dan menjadi makhluk nokturnal.

am i still sure i got a hundred years to live?
i will be lucky to ever pass 50.

ketika seratus tahun pun dianggap tidak cukup.
tidak cukup untuk mengejar cita-cita,
meraih pencapaian luar biasa dalam hidup,
membahagiakan orangtua,
membanggakan negara.
tidak cukup untuk mengejar cinta,
memahami makna rasa itu lebih dalam,
menemukan satu-satunya manifestasi nyata yang sejati dari rasa itu.
tidak cukup untuk mengenal diri sendiri lebih intim,
menjadi bahagia tanpa semu,
tidak cukup untuk hidup.

lalu bagaimana dengan 50 tahun?
jikalau 100 tahun saja tidak cukup?

*inspiration goes to Five for Fighting.

Monday, May 2, 2011

Oh, Misery, I have drunk thy cup of sorrow to its dregs, but I am still a rebel.
- Lucy Parsons

Sunday, April 24, 2011

Boleh diabaikan karena tulisan ini tidak akan berguna untukmu

sering aku memilih untuk duduk di tengah keramaian, bertemankan buku dan secangkir teh. terkadang kopi, saat kepala sedang bisa diajak kerja sama.
memperhatikan setiap orang di sekeliling, dengan segala keunikannya, kebiasaannya. menjadi setitik debu kecil di tengah cengkerama, tawa, desahan, senyuman, desisan. menjadi kasat mata bagi dunia yang sibuk di sekeliling. menjadi pengamat. meneliti, tanpa harus membuat sebuah laporan tertulis. mencatatnya dalam pikiran, menebak-nebak apa sekiranya yang sedang dialami setiap aktor kehidupan itu.
apa perannya? kueksposisikan.
latar belakangnya, perkiraan setting tempat waktu dan suasana, semua aku yang mengatur. merasa menjadi Tuhan, aku menciptakan dunia kecil dimana imajinasi dan ekspektasi pribadi menempati anak tangga teratas.
apa konfliknya? sejak detik berapa tepatnya sebuah aksi mulai meninggi? kapan klimaks? kapan resolusi?
semua kutebak. kukarang. dan sekiranya aku terhibur, karena masih ada imajinasi yang mau menemani ketika aku terisolasi dari dunia. karena masih ada para aktor kehidupan itu, rela dijadikan sampel pengamatan, meski mereka tak tahu dan kemungkinan pun tak mau andaikan tahu.

seorang lelaki tua beretnis Tionghoa menghisap rokoknya dalam-dalam, begitu mendalam, kuperhatikan. alisnya hingga bertaut, matanya memejam, pipinya kempot seiring semakin dalam isapannya. seolah ia ingin bersatu dan melebur dengan asap nikotin. ia terbatuk keras, lalu mendecak kesal. asapnya mengitari orang-orang di sekitarnya, namun tak ada yang ambil peduli. asap tembakau telah menjadi bagian normal dari hidup. penyakit kanker telah menentukan lamanya hak manusia untuk merasai bumi, namun malaikat maut dijadikan terdakwa.
lelaki tua itu tampak merenung. entah apa yang direnungkannya. bisa saja istri yang sakit-sakitan di rumah, atau anak durhaka yang telah lama tidak berkunjung. bisa saja ia sedang melakukan perjalanan waktu, terbawa dalam mesin waktu imajiner yang terbuat dari serat-serat memori, mengunjungi masa lampau. masa-masa ketika rambutnya masih lagi hitam (terkadang pirang kemerah-merahan demi tuntutan pergaulan), ketika mukanya masih lagi mulus tanpa kerut, ketika ia mampu merokok dan menghisap cerutu hingga dadanya menggembung tanpa harus terbatuk seperti barusan.
tiba-tiba ia pergi. perannya dalam naskah koinsidentalku berakhir dengan batang rokok yang dijatuhkan secara sengaja dan diinjaknya menggunakan sandal rumahnya.
ia melangkah pergi. mungkin untuk membeli rokok lagi. mungkin ia memang ingin mati. siapa yang tahu? jangan percaya, ini hanya hibrida antara imajinasi dan suasana hatiku sebagai sutradara yang kebetulan saja suram. bisa saja suratan takdir hidupnya berubah saatku sedang dilanda bahagia, entahlah.
apa itu yang terjadi pada manusia? mengapa jalan hidup setiap orang berbeda-beda? nasib orang berbeda-beda? apa tergantung rasa yang sedang dikecap Tuhannya masing-masing? saat Tuhan sedih, muramlah hidupnya. saat Tuhan tertawa senang, muluslah jalannya?
begitukah?
totaliterkah Ia? otoriter? fasis?
ah tapi lagi-lagi, ini subjektivitas pemikiranku. suasana hati yang murung dan hari yang mendung menghasilkan persepsi ketuhanan yang tanggung. lagipula, siapa ini aku sehingga menyamakan diri dengan yang di atas sana?

aku jelas-jelas bukan Schopenhauer yang dengan berani bisa mencari ribut dengan Tuhan dan umat-Nya dengan mengatakan, dunia ini diciptakan bukan oleh sebuah entitas penuh kasih, tapi entitas jahat yang membawa makhkuk hidup ke dalam lingkup eksistensi hanya untuk melihat mereka menderita.

aku hanya mahasiswa Semester 5 dengan kadar imajinasi yang berlebihan.

hujan berhenti.
sinar matahari benar-benar turun menyusupi celah-celah tenda, seolah menyadarkanku untuk pulang dan memberi kehidupan pada perutku.
tapi aku tak bisa berhenti. pantatku menempel pada kursi besi ini, mataku masih bergerak-gerak liar, mencari siapa sekiranya manusia yang bisa kujadikan bahan observasi? yang bisa kujadikan mangsa imajinasi. tak kusangka, kesendirian itu ternyata sebuah candu.
tanganku mulai bergerak, mencoret-coret kertas di depanku. sementara itu setiap manusia yang ada di tempat ini telah beranjak menyambut mentari sehabis hujan siang paskah, melewatiku tanpa memiringkan bola mata. seolah aku kasat mata. seolah aku bukan manusia.
apa ini berarti aku dewa? roh? Tuhan?

demi ilmu pengetahuan dan kesejahteraan seluruh umat manusia, apa coba yang kukicaukan dari tadi. perut meraung lagi, ponsel pun berteriak-teriak minta diberi asupan arus listrik agar hidup kembali.
aku beranjak dari tempatku. bukan sekedar untuk menyambut mentari, tapi untuk hidup.

random writing @ Downtown Walk Summarecon Mal Serpong
24th April 2011. sekitar jam satu siang, sepulang ibadah paskah. lapar, bokek, terjebak hujan. 

Wednesday, April 13, 2011

Hakikat Jari Tengah


“Kalau ini jari telunjuk,” Ia mengacungkan sebuah jari, menunjuk ke atas. “Buat nunjuk Tuhan di atas surga.”
“Kalau ini ibu jari,” lanjutnya, “Seperti OK?”
“Kalau ini jari manis,” senyumnya sambil mengelus pelan jari yang ideal itu, “Nanti kalau menikah cincinnya dipasang di sini.”
“Kalau ini kelingking,” keempat jarinya ia tekuk, sisa si kecil yang kurus di ujung tangan, “Paling kecil, paling lemes, tapi paling imut."

“Kalau ini?” 

Dengan tegas ia mengacungkan sebuah jari terpanjang dari tangannya. Tepat di depan wajahku.
Aku tertawa, “Dia beda, gak punya nama keren. Ya namanya cuma jari tengah aja.”
Aku menurunkan jari tengah kecilnya yang masih terpampang di depan hidungku, terganggu. Untuk orang yang telah hidup lama, jari itu memang emblem ketidaksopanan.
Tapi ia mengeleng.

“Ada, kok. Fuck you.” ucapnya, entah memang polos, entah bermakna implisit.
Sedetik kemudian ia kembali asyik dengan boneka beruangnya.

anomie? 
You tell me.

*Ketika kekuatan media meracuni mulut penerus bangsa dan mendistorsi harga diri jari tengah.

Friday, April 8, 2011

ke-mestakung?

Pak Yohanes Surya yang terhormat,
tolong jawab pertanyaan saya.

kenapa semesta tidak mendukung?


itu saja.
karena saya sudah berjerih payah hingga keringat saya kembali mengering, namun sekitar saya tetap hening.
karena saat ini saya sedang dalam kondisi kritis, menanti jalan keluar, namun tak mampu melihat satu cahaya pun sebagai penunjuk jalan.
karena sepengetahuan saya, saya sudah melangkah keluar, namun kegelapan yang menyambut.
apa saya kurang tekun?
sehingga semesta merasa saya belum pantas untuk diampu?

saya memang bukan pakarnya.
saya tidak mengerti konsep anda secara mendalam.
saya hanya merasa dunia tidak lagi bersinergi dengan tepat di sekitar saya.
semesta seolah berselingkuh untuk mendukung semua orang di sekitar saya,
kecuali diri saya sendiri.

3 langkah bukan?
kritis. langkah. tekun.

secara sepihak saya akan mengatakan bahwa saya telah memenuhi ketiganya.
tapi saya pun belum tentu memahami setiap aspek diri saya.
ada saat-saat dimana saya merasa asing dengan diri saya.
ada satu masa dimana saya takut terhadap diri saya sendiri.

jadi,
saya tidak tahu.

tapi tolong dijawab saja,

ke-mestakung?
kenapa semesta tidak mendukung?

---

para 'monyet' bodoh

tak melihat,
mendengar,
ataupun
berbicara
tentang kejahatan.

itu 3 kera bijaksana.
monyet.
itu dongeng.

tak melihat,
mendengar,
ataupun
berbicara
untuk rakyat.

itu para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.
manusia.
itu realita.

jangan salahkan saya kalau saya lebih simpatik pada monyet dan imajinasi fiktif dibanding pada anda-anda yang jelas-jelas adalah sebuah realita.

---

Thursday, April 7, 2011

spektrum cahaya

bawa aku pergi.

aku tak peduli kemana kau akan membawaku, bawa saja aku ke tempat yang terang.
karena aku sekarang tak lagi menyaksikan keajaiban.
aku kehilangan warna yang dulu bermain-main di depanku, dulu mengajakku bermain dan berimajinasi.
sekarang yang dapat kukecap hanyalah hitam dan putih.
kalaupun ada sedikit variasi, itupun abu-abu, hasil perkawinan lari si hitam dan putih.

tarik saja tanganku.

aku bergeming bagaikan patung di perempatan jalan ini. melihat empat cabang di sekitarku yang sama gelapnya dengan langit malam yang pekat tanpa bulan.
menerka mana yang paling tepat, mana yang akan membunuhku dan mana yang akan membuatku bernapas.
kalau kau menyentuh sedikit saja tanganku, dan menariknya, aku akan ikut.
pasrah.
asal kau berjanji tarikanmu akan berakhir pada terang.

oh ya, aku tidak butuh silau.
aku hanya butuh cahaya yang cukup.
spektrum cahaya yang berwarna-warni, bukan hitam-putih, seperti kini.
secercah saja, untuk melipur lara yang telah dirasakan mataku sejak lama.
jangan terlalu tinggi intensitasnya, aku malah takut aku akan buta.

Wednesday, April 6, 2011

Grasi

sebegitu saktikah emosi, sehingga ia bisa menjauhkan yang dekat?
mendekatkan yang jauh?
membicarakan yang di belakang?
menusuk yang di depan?
merusak kepercayaan dan harapan?

sebegitu besarkah ego, sehingga ia bisa merubah persepsi?
merubah hidup sekalian, kalau saja kesempatan memberi tanda persetujuan?
menyebar fitnah,
racun,
dusta,
fakta yang dirasuki fiksi,
hingga merusak nama yang telah dibangun bersama dengan keringat bercucuran, malam-malam panjang, air mata, dan dingin yang menusuk tulang?

maka, sebegitu bodohkah mulut sehingga mau-mau saja menjadi media pengemban dosa?
dituduh generalisasi sekilas bahwa eksistensinya hanya membawa masalah?
disalahkan dalam kitab suci,
dituding oleh masyarakat,
ditampar ketika terus bercuap,
dibubuhi rawit panas ketika berdusta,
sementara ia hanya mengemban tugas dari emosi dan ego?

karena mata tak mau berbohong, toh ia jendela dunia,
terlalu sering dijadikan barometer pengukur kejujuran.
karena tangan memilih untuk terikat di belakang,
merasa terlampau keras dan kejam jika harus ikut campur.
karena kaki harus terus berpijak di tanah,
melayang-layang hanya akan membesarkan kepala hingga akhirnya meledak.
karena ketika semua menolak,
mulut terpaksa menerima jabatan prestisius dari emosi dan ego. 
"penyambung lidah, seperti nabi",
mungkin itu iming-iming dari emosi dan ego.

lantas.
siapa sesungguhnya yang harus dikekang, diikat, ditahan, ditampar, dibubuhi rawit?

sang mulut?
atau emosi dan ego?

Sunday, April 3, 2011

subjektif

katakanlah,
apakah saya menyedihkan karena senantiasa selamanya mencintai orang yang salah?

apakah ia egois, karena senantiasa selamanya membuat saya terus mencintainya dengan salah?

tidak, saya tidak menyedihkan.
ia pun tidak egois.


tapi ia jahat.


sekarang siapa yang egois?

Saturday, March 26, 2011

some people.


mengingatkan saya bahwa bukan hanya saya yang punya hidup di dunia ini.
bahwa ada banyak alasan di balik tingkah seseorang.
ada banyak emosi bergejolak di balik senyum seorang wanita.
atau tangisan seorang pria.
atau kebohongan seorang anak kecil. 
bahkan pembunuhan terhadap seorang politisi.
ada banyak kisah di balik sebuah lambaian tangan, maupun tatapan sendu.
bahkan ada cerita di balik seonggok sampah.

hidup bukan hanya milik saya seorang.
saya berbagi.

mungkin lain kali saya dapat berpikir dua kali sebelum melakukan sebuah tindakan bodoh.
siapa tahu, tindakan bodoh saya itu akan berpengaruh pada orang asing di belahan lain dunia ini.
mungkin lain kali saya akan berkaca sebelum saya menghakimi seseorang.
siapa tahu, sesungguhnya saya malah menghakimi diri saya sendiri.


some people,
itu kata kuncinya.
beberapa orang.
bukan hanya saya sendiri.

Thursday, March 10, 2011

Edge of Exhaustion

as a good friend once said, 


"Problems are supposed to be solve and laugh at, not vanish... and patience are always virtue."


noted, dear good friend. thanks for the enlightening words. wish i can be as optimist as you advise me to.


well, i'll pray. and try. 


2:15 AM.
at the edge of exhaustion and weariness, the corner of weeping and crying.
masih di sebelah galon.

Monday, February 28, 2011

road-trip

back on this road. the road i once knew so well. observing how dust can seem to be so familiar. feeling the need to cry and scream, betraying my dignity. sun rises and sets in a brief moment of silence without my conscience, it's dark already and i feel no fear.

Sunday, February 27, 2011

Dunia.

dunia yang kita jalani sekarang adalah dunia dimana seorang bocah laki-laki berumur 14 tahun telah mempunyai buku biografi yang merekam kehidupannya selama 14 tahun. sungguh banyak pengalaman bocah itu, sungguh lama ia telah hidup dan mengecap asam garam kehidupan. ya anda benar, saya sedang sarkastik.

dunia yang kita jalani sekarang adalah dunia dimana sekelompok orang berkeyakinan berbeda dapat diakhiri hidupnya dengan gampang oleh sekelompok orang lainnya. semua atas nama Tuhan, paling tidak itu yang mereka teriakkan saat darah muncrat mengenai wajah mereka.

dunia yang kita jalani sekarang adalah dunia yang setiap harinya mengalami gejolak pemberontakan. dimana orang-orang berambisi yang gila kekuasaan tetap berada di atas sementara yang mereka perintah berada di bawah kaki mereka.

dunia yang kita jalani sekarang adalah dunia yang melumrahkan para wakil rakyat tertidur atau bertengkar saat sedang menjalani sidang penting, seolah-olah gedung beratap hijau itu adalah gedung beratap warna-warni, lambang gedung sekolah Taman Kanak-Kanak.

dunia yang kita jalani sekarang adalah dunia yang memacu kita untuk tetap dapat menyeimbangkan kehidupan sosial kita, baik dunia maya maupun nyata, meskipun terkadang batasan antara keduanya semakin lebur dimakan egoisme temporal

dunia yang kita jalani semakin kekurangan. airnya, tumbuhannya, bahkan kekurangan moralnya. dunia yang kita jalani mungkin sedang mencari tahu siapa yang patut dipersalahkan, karena dunia tahu bahwa bukan mereka yang harus mengemban dosa.

dunia yang kita jalani kini bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang dahulu menciptakan mereka, karena mereka tidak merasakan jamahanNya lagi akhir-akhir ini. dunia menghilang di antara pertigaan dosa, asa, rasa. atau Ia yang menghilang? dunia pun tidak tahu. dunia kecewa.

dunia yang kita jalani, yang sedari dulu tak berhenti berputar, memang masih berputar hingga sekarang. lelah mungkin ia, ingin cuti dari mengelilingi sang pusat tata surya. tapi dunia tahu, satu keputusan egoisnya dapat berdampak pada berjuta-juta umat. dunia tahu, begitu ia menapakkan kakinya ke tanah, sama saja ia mengakhiri hidup itu sendiri.

karena itu, dunia ini tetap berputar, memberi kesan normal. tapi kalau saja ada satu semutpun yang mau memperhatikan dengan baik, arahnya berantakan. kenyataan terdistorsi. yang penting dunia tetap berputar, peduli setan dengan orbit yang ada, rute yang ada.

dunia ini, dunia kita, sedang kehilangan arahnya.
saya di dalamnya pun begitu.

Sunday, February 20, 2011

MAINSTREAM II

hati kecil itu berkata, "hari sudah malam. lekaslah tidur."
mulut besar itu berteriak, "umur sudah tua. lekaslah menikah."
tangan kurus itu menutup mulut besar yang tertawa keras,
ternyata kalimat tadi sebuah lelucon.

mulut besar itu kembali menimpali, "tigapuluh tahun Desember ini. bergeraklah, lekas."
hati kecil itu berkata, "sudahlah. itu bukan hal penting."
tangan kurus itu mengguncang bahu, "kau akan malu sendiri nanti."
memaksa.

mulut besar itu seketika mengecil, "ah, tapi bukan hakku. toh ini hidupmu."
hati kecil itu tersenyum, "akhirnya. kau sadar juga."

tangan kurus itu menepuk dahi, "ah! sudah jam segini. maaf, saya harus segera pergi."
sebuah mulut lain menimpali dengan cepat, "kenapa?"
mulut besar itu tersenyum senang, "biasa."
mulut lain tertawa.
tapi hati kecil itu bertanya, "maksudnya?"
mulut-mulut itu tertawa. menertawakannya. "kau tak akan mengerti."
"oh cepatlah. saya penasaran." ucap si hati kecil, kesal karena merasa ketinggalan.

"kau akan mengerti ketika waktunya tiba. jangan sok tahu. jangan mau tahu. kau saja tidak mau bergerak. tigapuluh tahun, edan. sadarlah." tukas seorang teman lama, akal logika. ia selalu benar.

hati kecil itu terdiam terpaku,
mulut-mulut itu satu-persatu pergi, semua beranjak melakukan 'pekerjaan' yang mereka semua mengerti --tapi tidak dimengerti oleh si hati kecil.
konon karena ia terlalu malas bergerak.
dan mungkin tidak peka.

tigapuluh tahun, edan.


*ketika jatuh cinta menjadi prioritas dan status marital menjadi penentu kualitas

pisau pink

sebilah pisau berwarna pink
meredam jerit serta tanya
yang tak tersirat dari raut wajah itu

hening

setetes air jatuh
darah turut menggenang
airnya hijau
darahnya ungu

siapa yang bilang darahnya selalu merah?
dia memang tak bisa dijelaskan dengan akal rasional manusia

memangnya kenapa kalau darahnya ungu?
dia justru bukan manusia biasa

sebilah pisau berwarna pink itu
kini menyabung nyawa dan jiwa si manusia setengah-setengah
.
11 Desember 2009
*abstrak. silahkan meng-interpretasikannya sesuka hati. saya yang menulis saja bingung.

Thursday, January 13, 2011

tak palsu, mati, apalagi semu.

kamu mencari keadilan?

keadilan tidak datang dalam rupa wanita cantik yang membawa timbangan.
itu hanya simbol.
patung.
dan karenanya, palsu.

keadilan bukan palu yang terbuat dari kayu, yang diketukkan 3 kali hingga bergaung di telinga para saksi.
itu hanya alat.
dan karenanya, mati.

keadilan juga lebih dari gelar S.H yang kau sematkan di belakang namamu yang panjang.
itu hanya ego.
dan karenanya, semu.

keadilan sesungguhnya datang dari mulut-mulut, tangan-tangan yang berani itu.
tiap aksara, pun akal mereka.
mengkhianati tata aturan, melewati batas aman.
tak tinggal diam, namun menginformasikan dengan apa yang tersisa dari urat malu mereka.
menantang bahaya,
mencapai idealisme.

tulisan ini untuk kalian, para pembela keadilan sejati yang, bisa saja, tak bergelar.
kalian tahu sendiri kan siapa yang kumaksud?

cheers.