Sunday, April 22, 2012

Saturday, April 14, 2012

menuju presipitasi


aku pernah berlomba dengan awan. melihat air siapa yang akan menyentuh tanah duluan. 

perlombaan ini tidak memberi penghargaan dan prestise bagi yang terlebih dahulu menyelesaikan, tapi yang paling terakhir meninggalkan. air siapa yang akan menyentuh tanah duluan: air hujan? atau air dari mataku? yang menang adalah yang terakhir menyentuh tanah. yang mampu bertahan menahan beban. 

awan telah menahan beban itu lama, mungkin lebih lama sebelum aku. sepanjang hari memang sudah panas. panas memancing evaporasi, memberi beban kondensasi pada awan. beban tersebut semakin berat bagi awan, dan awan mulai terlihat kelam. kelabu. ia tahu, sebentar lagi airnya akan jatuh. tapi ia masih menunggu. menunggu aku, saingannya, yang nun jauh di bawah sana sedang menahan beban pula.

tapi aku lebih lemah dari awan. tak seperti awan yang telah menahan bebannya sepanjang hari akibat panasnya lecutan matahari atas bumi, aku baru mendapat bebanku tiga menit yang lalu. tiga menit yang sudah cukup membuatku mendeklarasikan tantangan pada awan, adu ketahanan. tiga menit yang mengandung kecupan di pipi, yang mau tidak mau harus aku saksikan secara langsung, bagaikan menonton layar tancap. kecupan itu sekilas, hanya lima detik. sisanya adalah seratus tujuh puluh lima detik yang mana aku termenung, sementara beban semakin berat menguap di dadaku, memaksa air di mataku untuk menyentuh tanah. 

waktu berlalu, dan baik aku maupun awan masih bertahan. masing-masing dengan beban kelabu yang terasa semakin berat. awan, dengan beban yang ia tahan sepanjang hari -- dan aku, dengan beban yang kutahan selama tiga menit terakhir. seharusnya awan mendapat nilai plus, karena menahan sebegitu lamanya. karena menunggu sampai tanggal hendak berganti. sementara aku yang hanya bertahan tiga menit, dengan sombongnya menantang awan. 

tapi ini perlombaan yang ditentukan oleh air siapa yang jatuh paling terakhir. bukan beban siapa yang paling lama ditahan. titik. maka aku dan awan pun tetap bertahan, meskipun awan mulai geram. tak tahan menahan beban, ia pun menggerutu. aku bisa mendengar gerutunya, bumi bisa mendengar gerutunya. gerutu yang membuat temanku menutup telinga dan memekik kecil. temanku tidak tahu, awan sedang kesal karena harus bersaing dengan makhluk mortal sepertiku. temanku tidak tahu, awan sebenarnya hampir kalah dariku. di detik itu ia hampir menjatuhkan harga dirinya, menjatuhkan airnya hingga menyentuh tanah duluan. temanku tidak tahu bahwa ----


"saya bersedia."


sepuluh detik kemudian terdengar bunyi gemuruh, disusul bunyi air yang tercurah deras dari langit. "yah, hujan..." celetuk temanku.

awan sudah menangis. airnya menyentuh tanah, membasahi bumi. beban yang ia tahan sepanjang hari berhasil pula ia keluarkan pada akhirnya. tapi awan tak peduli. karena ia menangis sepuluh detik setelah "saya bersedia", tapi aku menangis tiga detik setelah rangkaian kata yang sama. tiga menit kecupan di pipi, tiga detik ucap janji. tiga insan yang emosinya bergejolak, satu pecundang. 



aku pernah berlomba dengan awan. melihat air siapa yang akan menyentuh tanah duluan. tebak siapa yang kalah?

------

*) presipitasi : produk dari kondensasi uap air di atmosfer; terjadi ketika atmosfer menjadi jenuh dan air terkondensasi dan keluar dalam bentuk hujan/ ter-presipitasi.

Friday, April 6, 2012

one of many reasons

i was about to watch some more episodes of how i met your mother, when all of a sudden, i remembered the long waiting list of assignments and (impromptu) take home tests waiting to be done.
and so, a monologue occurred between the natural procrastinator i am, and the punctual-organized nazi i expect myself to be :

probably not the most reasonable explanation, but it's not procrastinating. my brain only works when it's after 12.00 AM.

yeah right. you think i would buy that?

it's purely the love of adrenaline rush when facing deadlines.

not reasonable enough. still sounds hardly convincing. 

so i have this newly discovered thing--disease--that basically deprives my focus and attention from the errands and assignments.

sounds pretty much the same like the internet. 

damn it i'm running out of reasons. i gotta go back to reason number one. it explains everything.

it explains illogically. seems like one must admit that she is a procrastinator. a big. fat. one.

carpe diem, my friend? seize the day?

bitch get on your scripts and papers already.


and, so, people, the procrastinator-i-am won. that's why this is up on your recent posts. if the organized-nazi-i-expect-myself-to-be won, this wouldn't be here, and that long list of assignments might as well be resting in peace.
but nay. up to now, three college assignments, two take home tests, and a bunch of english club revision homework.

so much for seizing the day.

sampai ku besar nanti.

sampai ku besar nanti, sampai aku mati, ku kan ingat selalu, Yesus sahabatku dan Tuhanku...

first, let me tell you something. i woke up this morning feeling no lazier than a grizzly bear in hibernation. ibadah jumat agung yang mulai jam 10.00, dan gw baru bangun jam 9.20. ngulet-ngulet lagi di kasur, jadilah gw baru bangun jam 9.30. mandi dulu dan siap-siap blah blah blah, jadilah gw baru berangkat jam 10.00, dan sampai di gereja jam 10.15. telat. gereja penuhnya udah kayak midnight sale (sotoy. padahal gak pernah ikutan midnight sale). gw hampir ga dapet tempat duduk dan hampir disuruh duduk di ruangan "khusus orang telat" -- ruangan kecil yang ada layar LCD proyektornya, jadi gw bisa tahu apa yang terjadi di dalam ruang kebaktian. ternyata punya ternyata, ruangan "khusus orang telat" itu juga penuhnya kayak pemutaran perdana film Harry Potter di bioskop-bioskop kesayangan (lagi-lagi sotoy. wong selalu nonton pas udah mau diturunin posternya).

seorang usher berteriak-teriak, "masukin ruang kebaktian aja, masukin ruang kebaktian aja!"
gw mulai merasa seperti barang yang dioper-oper di terminal pelabuhan.
akhirnya, gw dan beberapa orang lain yang sudah super-telat sampe gak bisa masuk ke ruangan "orang telat" pun diperlakukan khusus. kita dimasukin ke ruang kebaktian yang sebenernya juga udah penuh. seorang usher mengajak gw keliling ruang kebaktian, mencari-cari satu kursi kosong. miraculously, usher itu menunjuk kursi kosong tepat di sebelah ryska, temen gw, yang sebenernya janjian bareng buat gereja jumat agung, tapi sayangnya, batre bb gw abis dan lupa ngecas, jadi dia sms, telpon, bbm, ngePING dan ngapain pun gak ada yang nyampe ke gw.
ryska memandang gw dengan pandangan lo-kemana-aja-nyet-dibbm-kaga-bisa. gw menatap dia balik dengan tatapan batre-bb-gw-abis-jadinya-off.

okay i'm rambling as usual. anyway, kebaktian berlanjut. ngantuk-ngantuk gw masih bersisa, berhubung gw bangun sedikit terburu-buru dan tidur gw cuman bentar karena begadang kemaren malemnya. sampai tiba-tiba, setelah satu lagu pujian dilantunkan, lampu meredup. orang-orang berbaju hitam bersarung tangan glow in the dark tiba-tiba berbaris di depan. ternyata mereka anak-anak sekolah minggu beserta gurunya yang mau mempersembahkan lagu "Yesus Sahabatku" dengan hand gesture.

lagu dimulai, instrumen mengalun, gw langsung berbisik pada ryska, "mampus. ini lagu favorit gw banget waktu masih di sekolah minggu". ryska mengangguk, ternyata ini juga lagu favorit dia.
gak perlu waktu lama sampai akhirnya pipi gw tiba-tiba basah. pandangan gw kabur. air mata turun begitu aja tanpa terkontrol dari mata gw. plus gw lagi pilek, jadi gw yakin gw yang paling berisik. gw tahu orang-orang lain juga banyak yang terisak, ryska juga, tapi perpaduan ingus dan air mata gw menghasilkan bunyi-bunyian yang, well, agak menarik perhatian.

Yesus sahabatku, Kau mati bagiku, besarnya kasihMu, sahabat dan Tuhanku...
Sampai ku besar nanti, sampai aku mati, ku kan ingat selalu, Yesus sahabatku dan Tuhanku...

i burst into tears, right away.
lagu itu simpel saja, liriknya pun memang ditujukan untuk anak-anak. tidak ada kalimat berbunga-bunga. instrumen yang mengiringi sangat minim, bukan full band seperti dalam beberapa gereja yang bisa membuat emosi seseorang membuncah. tapi lagu itu mampu membuat air mata gw terjun bebas.

sebenarnya simpel. gw teringat diri gw waktu masih kecil dulu. agnes kecil yang sangat mencintai Tuhan, yang mencoret-coret alkitabnya dengan tulisan "I love Jesus" atau "Mazmur 23" atau "John 3:16" atau hanya inisial- inisial "JC". agnes kecil yang dulu melantunkan lagu itu dengan semangat di sekolah minggu serta  dengan pelan dan sumbang sambil berlutut di samping tempat tidur ketika malam hari. agnes kecil yang pernah iseng menyanyikan lagu itu dan merekamnya dengan kaset lagu klasik milik ayahnya.

kemana agnes yang itu?

kemana agnes yang dulu berkata, "sampai aku besar nanti aku tidak akan lupa Yesus adalah sahabatku"?
karena sekarang, agnes yang besar ternyata sudah lupa. agnes yang besar sudah malas. agnes yang besar terlalu merasa diri hebat dan pintar dan kuat. sampai-sampai agnes yang besar lupa kata-kata yang ia nyanyikan dulu, dengan tanpa beban, ku kan ingat selalu, Yesus sahabatku dan Tuhanku...

i may not be the most faithful person ever, i don't act according to how christians should behave nowadays. i skip church sometimes. i forgot to pray when i'm really hungry. i curse. i lie. i think bad about others. i gossip. i may even be that person who's not really into religion institutions, but i am still that very same person who once sang, Yesus sahabatku...

gw bingung. penampilan anak-anak sekolah minggu dengan suaranya yang khas anak kecil -- melengking, sedikit sumbang, dan ketika nada meninggi suaranya mulai falset -- itu menampar gw bolak-balik. kiri-kanan bawah-atas. anak-anak kecil yang sebenarnya melantunkan kata-kata "Yesus sahabatku dan Tuhanku" itu, seolah malah bertanya ke gw,

where have you been?

---

.

saya kembali dihadapkan pada pertanyaan itu. ekspresi wajah itu, yang membuat saya berpikir kembali akan pilihan saya. menggelitik saya untuk bertanya pada diri saya sendiri, "kamu yakin?"

kamu yakin kamu baik-baik saja?
kamu yakin kamu tidak bermasalah dengan kondisi yang ada?

ya, pertanyaan seperti di atas, terkadang lebih variatif tergantung kata apa yang sedang ingin saya gunakan, tapi intinya tetap sama. pertanyaan di atas yang muncul dari satu pertanyaan lain sebelumnya, yang saya jawab dengan jawaban sekenanya dan sebiasa mungkin, disambut dengan ekspresi dan respon yang berusaha saya hindari. respon yang membuat saya kembali mempertanyakan pilihan saya. kenyamanan saya.

kebodohan saya?

lalu saya dibiarkan sendiri dengan pikiran saya. saya sedikit takut, kalau boleh saya bilang begitu. terkadang apa yang ada di pikiran saya berbeda dengan apa yang saya inginkan. ia terlalu jujur, sementara saya tidak selalu menginginkan kebenaran. tapi pikiran saya tidak bisa diatur. ia terlampau keras kepala dan independen. meskipun saya tidak ingin menjawab dengan "yakin" maupun "tidak", toh saya tetap dibawa kepada...

"kamu yakin?"

saya hanya bisa terdiam. termangu. seperti orang bodoh yang pikirannya kosong.
apakah saya yakin? kalau tidak, mengapa saya tidak melakukan sesuatu? mengapa saya nyaman-nyaman saja berada di satu titik yang sama? dan kalau yakin, mengapa sulit sekali bagi saya untuk mengangguk dan menjawab pertanyaan sederhana itu?

pada akhirnya, saya tidak menjawab pertanyaan tersebut. saya biarkan menggantung.hingga saya mengetik tulisan ini pun, pertanyaan tersebut masih mengawang di langit-langit pikiran saya. saya biarkan. saya tinggalkan. saya lari. seperti seorang anak kecil pengecut yang tidak berani menghadapi monster di dalam lemarinya, saya lari. semata-mata karena saya takut akan kejujuran.

Gara-gara Endah N Rhesa

when you love someone, just be brave to say that you want him to be with you.
when you hold your love, don't ever let it go, 'cause you will lose your chance to make your dreams come true...

setelah lama absen dari playlist lagu saya, saya kembali mendengarkan lantunan lagu ciptaan Endah N Rhesa ini. tidak sengaja, sebenarnya. berawal dari youtube walking, yang membawa saya pada link video clip lagu ini. entah mengapa, mendengar lagu ini, berbagai memori terangkat kembali. sungguh, pernahkah kamu berhenti dan berpikir, betapa ajaibnya musik itu? betapa magisnya lirik dari sebuah lagu? komunikator ulung yang memikat hati. bagaimana ia mampu membuka kotak pandora yang sekian lama berusaha disimpan, in order to move on, dan dengan seenak hati memutar kembali kenangan yang ada. memutar kembali penyesalan yang telah lalu.

sekeras apa pun anda berusaha untuk membekukan hati dan pikiran anda,
seteguh apa pun anda pada pendirian anda untuk tidak terperangkap pada masa lalu.

toh kotak tersebut dengan gampangnya terbuka dengan alunan nada dan lantunan lirik sederhana yang mengena di atas itu.
saya sendiri, sesungguhnya, tidak mempunyai banyak kenangan dan memori pahit yang perlu disimpan. tidak ada kenangan manis pula yang perlu saya ingat-ingat di masa depan sambil tersenyum. hidup, bagi saya, adalah sebatas apa yang ada hari ini. hidup, bagi saya, adalah semua ranah pengalaman kecuali yang satu itu.

Tuesday, April 3, 2012

Hidup yang Sia-sia

"avoiding the mistakes of a wasted life".
saya sedang duduk di meja belajar saya, menatap tempelan-tempelan kertas, foto, post-it di dinding di depan saya, ketika saya melihat sebaris kalimat itu. saya lupa kalimat itu saya dapat dari mana. tampaknya saya gunting secara asal dari sumbernya dan saya tempel begitu saja di dinding. ukurannya kecil saja.

avoiding the mistakes of a wasted life.

ada kemungkinan tulisan ini saya dapatkan dari majalah rohani. kalau dipikir-pikir memang masuk akal. itu kalimat yang biasanya akan ditemukan di majalah rohani. a wasted life is a life without Jesus. oh i can picture it clearly, a preacher preaching the very same words. in order to avoid that wasted life, you should go to Jesus. i can even picture my dad preaching that very same words.

anyway, lepas dari kenyataan bahwa saya lupa darimana asal kalimat tersebut dan kemana kalimat itu akan berlanjut, saya jadi mikir. yang maksudnya wasted life itu seperti apa?

saya ingat, saya pernah berbincang-bincang dengan teman saya tentang masa depan. berhubung sekarang saya sudah mahasiswa semester enam, sudah seharusnya saya berhenti menganggap diri anak remaja yang patut bersantai-santai. maka, pembicaraan mengenai masa depan bersama teman-teman saya menjadi topik yang cukup hangat akhir-akhir ini. waktu itu, saya dan teman saya, nana, sedang berandai-andai. apa target kami untuk masa depan, mimpi-mimpi apa saja yang ada dalam 'bucket list' kita, apakah kami akan menikah suatu hari nanti ataukah kami akan menjadi sama seperti sebagian besar jurnalis wanita di luar sana? ketika membicarakan mengenai mimpi-mimpi, kami yakin kami akan lama menikah. bagaimana mau mengejar mimpi kalau sudah menikah?

kami tidak yakin ingin menikah cepat-cepat. terlalu banyak impian, terlalu banyak tempat yang mau dikunjungi, orang yang mau dikenal, pengalaman yang mau dirasai. menikah tampaknya hanya akan menjadi kendala, penghalang. percakapan saya dan nana berakhir begitu saja, kami memilih membicarakan hal lain yang lebih ringan.

malam ini, ketika melihat penggalan kalimat 'avoiding the mistakes of a wasted life' di dinding kamar, saya jadi berpikir. wasted life itu yang seperti apa sebenarnya? patokan tolok ukurnya apa, sehingga seseorang bisa mengklaim hidupnya, atau hidup orang lain, terbuang sia-sia. terdengar sangat menghakimi.

apakah menikah berarti membuang sia-sia hidupmu? saya punya teman, dania, yang cita-citanya jelas sejak ditanyakan di semester satu: mau jadi ibu rumah tangga. dulu, waktu saya mendengar itu, saya sempat mengernyit. kalau mau jadi ibu rumah tangga, kenapa pilih kuliah komunikasi? bukannya seorang ibu rumah tangga tidak perlu bersekolah tinggi, tentu saja perlu, tetapi saya penasaran -- kenapa harus kuliah komunikasi?

saya lalu berpikir hal lain, kenapa dania mau jadi ibu rumah tangga? apa serunya? betapa bosan hidup seperti itu? saya terbiasa dibesarkan oleh seorang ibu yang bukan ibu rumah tangga sepenuhnya. mama wanita karier (lucu juga menyebut seorang ibu pendeta wanita karier), guru, kepala sekolah, dan penginjil. hidupnya sibuk, tapi mama tidak pernah melupakan kami anak-anaknya dan suaminya. dan saya pikir, hidup mama seru. dia bertemu banyak orang, dihargai dan diandalkan banyak orang, meski kekecewaan yang ia hadapi juga lebih banyak dibanding kalau ia hanya menjadi ibu rumah tangga. mengenal lebih banyak manusia, berarti lebih banyak kecewa. mungkin memang naturnya hidup seperti itu.

tapi saya tidak bisa menghakimi dania. jalan hidup orang berbeda-beda, standar kebahagiaannya berbeda-beda. kalau dania bahagia menjadi ibu rumah tangga, mengapa tidak? setidaknya, dania tahu jawabannya, dania tahu tujuan hidupnya. menjadi istri dan ibu rumah tangga. titik.

saya sendiri bagaimana? memangnya saya sudah tahu mau berbuat apa? begitu banyak rencana, impian, tapi tidak fokus. lagi-lagi, saya bingung. saya, si manusia setengah-setengah ini, si manusia pseudo, si manusia semi, jadi berpikir ulang. saya mau ngapain sebetulnya dengan sisa hidup saya?

otak saya terlalu banyak pertanyaan, tetapi sedikit jawaban. saya ingin seperti dania, yang bisa menjawab dengan tegas dan lantang, "gue mau jadi ibu rumah tangga!"

tiba-tiba saya sedikit was-was. jangan-jangan saya lagi menjalani hidup yang terbuang sia-sia. hidup yang dihabiskan untuk terus bertanya, mencari jawaban, tapi tidak ketemu-ketemu. saya tersenyum getir, perut tiba-tiba keroncongan, membuyarkan lamunan -- pertanda bahwa saya masih menjalani hidup, entah sia-sia atau tidak. sekarang saya cuma ingin makan nasi padang dan minum es teh manis. itu dulu saja tujuan hidup saya untuk hari ini.

Monday, April 2, 2012

reminiscing

i love opening up old stuffs. ambil contoh, binder lama. binder lama waktu SMA. membaca-baca binder lama waktu SMA serasa dibawa ke dimensi waktu yang berbeda. serasa kembali ke Batam saat saya membaca tulisan-tulisan agnes remaja yang labil dan suka-sukaan sama si cowok ini dan itu. halaman pertama dibuka, ada jadwal mata pelajaran senin-sabtu. halaman kedua, list tugas-tugas dan to-do-list (iya, dari dulu udah pelupa, jadi butuh to-do-list). halaman-halaman berikutnya, semacam surat-suratan sama temen-temen jaman SMA karena ga boleh ribut di kelas. terus ada curhatan-curhatan najis yang disertai gambar hati dan ejaan-ejaan seperti "akuh", "kamuh", "kamoh", dan... holy mother of naked cupid, bahkan ada kata-kata "keluar dong dari pikiran aku". 

well, anyway, yang seperti di atas itu, it's amusing to look back at. 

tapi tidak semuanya dari memori masa lalu itu menarik untuk diungkit-ungkit. yah, semua orang pasti pernah berada pada titik yang rendah dalam hidup mereka. begitu juga saya. ada masa-masa dalam hidup saya yang tidak begitu menyenangkan. bukan sepenuhnya berkaitan dengan diri saya, bukan. tapi berkaitan dengan orang-orang yang ada di sekitar saya, yang berpengaruh pula pada saya. 
tulisan-tulisan mengenai titik tersebut juga berada di binder yang sama, namun dirobek, dilipat, dan diselipkan di halaman paling terakhir. paling belakang. tulisan-tulisan berbekas air mata. tulisan-tulisan yang bisa saya ingat jelas kondisinya ketika saya menulis tulisan tersebut. hahaha. bukan tanpa alasan tulisan-tulisan itu saya robek dan saya lipat kecil-kecil dan saya simpan di halaman paling belakang. 
saya bukan berusaha menghapus memori, bukan karena memori tersebut terlalu berharga, tapi karena mustahil dan sia-sia. mau saya robek tulisan tersebut dan saya bakar hingga menjadi abu pun, memori-nya tetap akan ada di kepala saya.
it's all part of growing up, itu yang saya batinkan saat membuka lipatan kertas tersebut dan membaca ulang isinya. dulu, ketika menulisnya, saya menangis. sekarang saat saya membacanya ulang, saya tersenyum. toh semuanya sudah berlalu. 
memori itu, tulisan di halaman belakang itu, saya jadikan pembelajaran. saya jadikan alasan untuk bersyukur. saya jadikan pengingat. membuat saya bersyukur saya masih memiliki kertas dan pulpen untuk dijadikan pelarian. tak satu makhluk bernafas pun yang tahu perasaan saya. hanya kertas dan pulpen itu. tulisan itu mengingatkan saya, betapa menulis bisa membantu seseorang tetap waras. tidak akan ada The Diary of a Young Girl jika Anne Frank tidak menulis untuk membantu dirinya tetap waras selama dalam persembunyian. tidak akan ada Tetralogi Buru jika Pramoedya Ananta Toer memutuskan untuk menghabiskan waktunya sebagai tahanan dengan rasa putus asa atas ketidakadilan yang ada. memang kondisi saya saat itu tidak ada seupil-upilnya jika dibandingkan dengan kondisi Anne Frank maupun Pram. tapi bukan di situ intinya. 

intinya : kertas, pulpen, oh, dan tentu saja, faith. harapan. iman. too cliche, i know, but they helped. at least to me. 

Apresiasi Jati Diri Bangsa


            What makes us Indonesians?

Dalam esainya yang berjudul Puisi Besar, Sutardji Calzoum Bachri menulis dengan menarik mengenai bagaimana puisi yang besar sesungguhnya mampu memberikan inspirasi dan hikmah bagi masyarakat dan bangsa. Ia menyebut contoh salah satu puisi besar yang pernah tercipta dalam perjalanan sejarah Indonesia. Puisi yang seharusnya ditulis dengan tambahan tanda kutip, karena statusnya yang tidak pernah dipandang sebagai puisi. ‘Puisi’ apa itu?

Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Kendati tidak pernah dianggap secara pasti sebagai sebuah karya literatur maupun puisi, Sutardji mengajak pembaca untuk melihat teks Sumpah Pemuda sebagai sebuah puisi yang ternyata mampu memenuhi kriteria teks puisi masa kini. Layaknya puisi pada umumnya, teks Sumpah Pemuda menciptakan sebuah imajinasi. Dunia yang masih berada dalam angan, bahwa pada saat itu, putra-putri Indonesia berbangsa satu, ber-tanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia merupakan in absentia, masih belum hadir dalam realitas masyarakat saat itu. Dan teks ini, sebuah karya literatur sederhana ini, berhasil menyulut semangat persatuan para muda-mudi akan sebuah konsep yang masih belum hadir. ‘Puisi’ Sumpah Pemuda menjadi titik tolak gejolak perjuangan kemerdekaan di Indonesia.

Sebuah puisi hanya merupakan salah satu dari begitu banyaknya ragam kesenian dan kebudayaan dari sebuah bangsa. Kebudayaan itu memiliki makna yang begitu besar bagi sebuah bangsa. Berbeda dari syarat terbentuknya negara yang meliputi wilayah, pemerintahan, hingga pengakuan—kepribadian sebuah bangsa terbentuk dari nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat. Nilai-nilai yang kemudian berkembang menjadi kebiasaan dan menjadi kebudayaan.

Sayangnya, seiring waktu dan tren yang berlalu, semakin sedikit masyarakat yang mau mengapresiasi kebudayaan lokal. Dan media, dalam hal ini, sangat berperan besar. Media membentuk kebudayaan artifisial, mengadaptasinya dari kebudayaan lain, mempublikasikannya secara luas dan mencekokinya pada masyarakat.

Lepas dari pertikaian yang tak sudah-sudah dengan negara tetangga, seni sastra Indonesia merupakan sesuatu yang wajib dikonsumsi para pelajar di Malaysia. Sebut saja karya-karya Pramoedya Ananta Toer, puisi-puisi Chairil Anwar. Apa yang di sini hanya pernah kita dengar atau selewat kita baca, di sana diapresiasi dan bahkan dijadikan bahan diskusi pelajaran yang wajib. Tak heran bahwa ketika situasi mengancam, muncul lah apa yang disebut sebagai nasionalisme semu. Kecintaan semu pada budaya lokal. Memakai baju batik menjadi usaha pembuktian diri pada dunia, bahwa setelah pergulatan dengan Malaysia, batik adalah kebudayaan Indonesia.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan membela kebudayaan kita. Hanya satu yang disayangkan, bagaimana kita baru dapat cepat bereaksi ketika gengsi bangsa mulai dipertaruhkan. Di lain waktu? Silahkan jawab sendiri, saya pun masih bergumul.

Mengapresiasi kebudayaan asli Indonesia bukan hanya sekedar ekspresi cinta kita terhadap budaya bangsa. Layaknya teks Sumpah Pemuda yang mengawali kesadaran bangsa akan persatuan, kebudayaan lokal merupakan cerminan diri kita, jati diri kita sebagai sebuah bangsa, apa yang membentuk kepribadian bangsa kita. Mengapresiasi kebudayaan bangsa sendiri berarti mengapresiasi hakikat diri kita secara individual pula. Jangan biarkan jati diri kita menghilang, jangan biarkan kebudayaan kita menghilang.


yah lumayan. dimuat di majalah kampus. portofolio, portofolio! :p