Saturday, October 30, 2010

MAINSTREAM

Tidak. Aku sedang tidak jatuh cinta.
Tapi mengapa kau tersenyum-senyum?
Ada sesuatu yang lucu.
90% orang tersenyum karena jatuh cinta, tahu.
Tapi bukan aku. Aku si 10% sisanya.
Kau tidak normal.
Gara-gara aku tersenyum karena sesuatu yang lucu?
Karena tidak jatuh cinta.
Kau selalu jatuh cinta ya?
Hey, kenapa kau malah balik bertanya?
Ups, maaf.
Maaf tidak cukup. Kau menyinggungku.
Aku menyinggungmu? Mengenai jatuh cinta?
Ya.
Kau pikir kau tidak menyinggungku saat mengataiku tak normal?
Tidak.
Mengapa bisa?
Karena cinta lebih sensitif daripada kewarasan.
Kau gila.
Nah, kalau kau berkata begitu aku tidak tersinggung.
Biar kutebak. Karena kewarasan tidak lebih penting dibanding cinta?
Ya. Aku gila dan kau tidak pernah jatuh cinta. Kau harusnya malu.
Baiklah. Tapi tadi kau juga mengataiku tidak normal karena tidak jatuh cinta.
Lalu?
Berarti mereka berhubungan.
Ya, mungkin aku salah bicara. Maaf.
Ha. Kau mengakui kesalahanmu! Berarti tadi kau salah! Kau harusnya malu.
Tidak, karena aku salah dan aku gila. Sementara kau, kau tidak jatuh cinta. Kau yang seharusnya malu.
Kau sinting.
Wah, terima kasih banyak.

---ooo---

nyes.
30okt2010 - 8:50 PM. ketika jatuh cinta menjadi prioritas.

ket* mainstream: the common current thought of the majority.

Indonesia?

Mata-mata itu memandang kosong
Tak percaya bahwa dalam sekejap semua bisa menghilang
Pakaian ini telah mereka pakai selama tiga hari
Basah, lalu mengering kembali
Anak-anak menangis, merengek minta disuap
Andai saja tanah bisa dimakan, mereka akan menyajikannya di atas piring emas,
Yang penting mulut-mulut kecil itu puas.
Getaran demi getaran sudah bosan mereka rasakan,
Jika kecil, biarlah cepat berlalu.
Jika besar, mulut komat-kamit, mata terpejam,
Berharap Ia mau mengampuni semua dosa dan hina.
*
Di tempat lain,
Beberapa anggota dewan sedang berunding,
Wajah mereka tampak serius.
Tampak seolah sedang berusaha memecahkan sesuatu,
Hingga seseorang berucap dengan keras, “Oleh-oleh apa ya yang enak buat biniku?”
Satu kalimat terucap saja, lalu semua tertawa menimpali dengan jawaban-jawaban yang lucu.
Mereka tertawa, mata mereka menyipit bahagia, sementara mata-mata yang disana sembap habis membuang tangis.
*
Beberapa anak muda di mal mewah ibukota sedang bersosialisasi.
Tangan mereka sibuk menggenggam blackberry,
Benda ajaib yang sanggup membuat mereka tak melakukan apa-apa seharian.
“Di Mentawai barusan tsunami loh. Merapi juga meletus. Di twitter heboh deh.”
“Aduuuuh serem banget. Mau kiamat kali ya.”
Pekikan kecil terdengar, mata-mata itu terbelalak lebar.
*
Di luar sana, jauh di sana, melintasi batas,
Seorang penyanyi turun dari panggung, menyelesaikan serangkaian tur konsernya.
Dengan cepat ia merogoh blackberry,
Lalu mengetik : Just heard of the tragedy in Indonesia. Pray for Indonesia. We love you.
Tak lupa tanda pagar tersebut ia cantumkan. Hashtag. Hashtag. Hashtag.
Setelah itu, ia menyulut rokoknya, lalu tersenyum menyambut penggemar-penggemarnya.
Ia mungkin lupa akan apa yang ia ketik tadi.
Yang ia ingat hanyalah bahwa ia up to date.
Anything for good publicity.
*
Malam mendekat, beberapa mahasiswa sedang berkumpul.
Tangan mereka juga menggenggam blackberry, sebuah gadget keramat.
Mereka menggerutu. mengkritisi. Merasa pintar. Berkoar.
 “Anggota DPR malah ke luar negeri? Makan tuh perwakilan rakyat!”
“Mana presiden kita? Mana? Pasti lagi nyanyi di Vietnam.”
“Malu gue sama Negara ini. Malu.”
“Apa perlu kita demo saja mereka?”
Keesokan harinya mereka akan memegang pengeras suara,
Lalu duduk berjam-jam di depan gedung beratap hijau itu.
Entah apa tujuannya.
Menyadarkan para tetua? Sia-sia. Mereka sesungguhnya tahu itu.
Tapi lebih baik tersulut emosi daripada duduk di kelas, mendengar ceramah dosen yang menurut mereka sampah.
Karena mereka kritis. Karena mereka idealis.
*
Media berlomba, bersaing memberi informasi dengan cepat per detik.
Organisasi masyarakat, para pengamat sosial dan politik saling berdebat,
Berdiskusi di dunia nyata dan maya.
Tak jarang tuduhan, cacian, makian terlontar,
Nama-nama disebut sebagai penyebab bencana.
“Usir mereka dari Indonesia, niscaya bencana usai!”
Begitu besar keinginan untuk menyucikan diri, hingga melampaui batas-batas logika.
*
Malam sampai, jalanan ramai.
Macet, lebih tepatnya.
Hujan lebat memang tak pernah lagi membawa berkah layaknya dulu.
Wajah-wajah kurus tersebut memantengi layar televisi 14 inci di warung kopi,
Menggeleng, berdecak, tapi tahu tak bisa berbuat apa-apa.
“Subhanallah”
Tapi mereka hanya mengurut dada, tahu semua sia-sia.
 “Kita rakyat kecil, bisa buat apa?”
*
Kembali ke wajah-wajah kotor yang sedang menatap langit malam, menunggu bala bantuan terjun bebas dari atas sana.
Mereka tak peduli pada blackberry,
Italia, Vietnam, Yunani, para wakil rakyat,
Artis siapa yang mendoakan mereka di situs-situs maya,
Public figure mana yang tertuduh sebagai pemicu bencana,
Cibiran, kritikan, skeptisme masyarakat,
Mereka tak peduli.
Mereka hanya ingin makanan.
Minuman.
Obat-obatan,
Serta rumah baru.

Mulut- mulut kecil itu masih merengek
Mata-mata itu kembali berair,
Bertanya-tanya apa dosa besar yang sekiranya telah membuat Sang Khalik murka.
Sayup-sayup terdengar harapan yang belum termanifestasi, masih kasat dalam hati.
Hiduplah Indonesia Raya.
Walau rupamu sudah tercoreng moreng,
Tetaplah hidup.
Nyes.
28okt2010. 4:22 AM.
Pasca gempa&tsunami Mentawai, Erupsi Gunung Merapi, dan Banjir Jakarta.
Bukan skeptis. Kritis. Apalagi anarkis.
Hanya sedang ingin menulis. Peace! J
.

Wednesday, October 20, 2010

acuhkan.

Terkadang, ketika harga diri sudah tak bisa lagi dipertaruhkan, kita hanya bisa diam.
Hilang akal,
Tersesat dalam pemahaman sendiri akan sesuatu yang abstrak.
Ketika itu, sedikit berharap kita mencoba mengatur Sang Waktu,
Berharap ia sedang lengah dengan segala batasannya,
Sehingga kita bisa menyelip masuk dan memutar setirnya, menjauh dari masa kini, menjauh hingga menjejakkan kaki di suatu waktu dulu.
Waktu dimana kita belum sadar akan ego dan ambisi kita, serta masih bertindak dengan hati nurani.
Masih polos. Lugu. Naïf.
Peduli setan jika tiga kata di atas dekat dengan pengertian kata ‘Bodoh’, yang jelas hidup terasa lebih less complicated saat itu.
Senyum yang ditampilkan belum mengandung konspirasi, ataupun kemunafikan yang tersirat.
Kata yang diutarakan murni menjawab. Tulus dengan maksud dan pesan yang ada. Tidak ada kebohongan di baliknya. Tidak ada pula kepentingan yang melampaui makna.
Bodoh.
Sekarang? Kita kira sudah maju. Sudah dewasa. Hah. Dewasa. Terus saja bermain kata, mengaku sudah matang. Mengaku dewasa.
Buktikan kedewasaanmu. Itu mungkin yang diteriakkan para sesepuh itu. Geli mereka melihat diri kita yang labil ini bertingkah.
Kita menuduh mereka kolot, menuduh mereka hidup di masa lalu. Kita memberontak, berusaha meluruskan pikiran mereka yang menurut kita terlalu lurus.
Padahal yang salah selama ini adalah pikiran kita yang terlalu belok. Emosi kita yang berapi- api tanpa bisa ditahan.
Padahal mereka benar, para tua- tua itu.
Kita boleh bergerak, maju, tapi apa memangnya yang mau kita capai? Citra? Keadilan?
Citra bukan hanya masalah kita. Tetapi juga masalah tua- tua itu. Untuk hal yang itu kita setara. Untuk hal yang itu, bolehlah kita maju dan mengacungkan jari kita ke hadapan wajah mereka sambil tertawa mengejek.
Atau keadilan, menurut kita. Ah, alasan klise yang menunjukkan kepolosan kita, bahkan sebenarnya melucuti harapan terdalam kita. Jujur saja, di jaman apa kita hidup? Ketahuilah bahwa konsep adil hanya sebuah idealisme tak nyata. Sejak dulu juga begitu.
Patutkah kita mengumbar banyak harapan meski sebenarnya tahu bahwa itu sia- sia?
Bukankah kita malah mempertaruhkan ego? Nasib? Nyawa?
Tak ada yang bisa kita ubah. Kecuali kita Tuhan, ataupun sesepuh tua yang di sana, yang memegang kendali akan kehidupan.
Pada tahap ini, semua kembali lagi ke awal. Berharap Sang Waktu sedang lengah, sehingga kita bisa memutar arah dan mengatur alur nasib kita ke depan.
Mungkin kita bahkan akan menciptakan diri menjadi tumbuhan saja, karena menjadi manusia terlalu membingungkan. Karena menjadi manusia malah kerap disamakan dengan binatang.
Ya, andaikan saja Sang Waktu lengah. Betapa mudahnya.

(dayung raya 11a)
(tengah malam),
(mood jelek),
(berputar- putar),
(sesungguhnya cuma gatal ingin mengetik),



(acuhkan).