Saturday, December 7, 2013

Si Penguntit

Sudah beberapa hari ini aku mengamatinya. Mengobservasi tiap aktivitasnya, melihat tiap gerak- geriknya, memperhatikan tiap senyum dan tangisnya. Jangan sebut aku seorang penguntit, karena aku masih waras.

Aku suka saja memperhatikannya. Senyum itu, wajah manis itu, rambut indah yang hitam panjang itu, bagaimana dia memeluk dan mencintai hidup. Aku, yang sudah tidak bisa melakukan apa- apa ini merasa terhibur dengan semangat dan vitalitas luar biasa yang terpancar dari matanya, dari langkahnya, dari tawanya, dari setiap kata yang meluncur dari bibirnya.

Tanpa terasa, minggu berlalu dan aku tetap bertahan di posisiku sekarang. Memperhatikan. Mengobservasi. Tingkahku sudah seperti seorang peneliti, dan ia adalah subjek penelitianku. Ya, minggu berlalu dan aku masih setia mengamati kehidupannya. Terkadang aku ikut tertawa saat ia tertawa, terkadang juga aku menangis seolah deritanya adalah deritaku. Tak ayal, aku bisa marah- marah dan geram sendiri pada kejadian buruk yang menimpanya, gemas melihatnya tetap tersenyum saat problematika kehidupan menimpanya. Ingin aku melihatnya marah. Ingin sekali.

Bulan berlalu. Observasi yang kulakukan padanya masih berjalan. Tapi sekarang bukan hanya sekedar sebuah penelitian. Ada perasaan aneh saat aku kembali duduk di kursi ini, bersila dan mengambil teropong untuk memperhatikannya. Sedikit saja aku ketinggalan gerak geriknya, aku bisa mencak- mencak sendiri.
Tidak ada orang yang peduli pada perubahan emosiku, mungkin karena mereka pikir aku tidak mempunyai emosi apa- apa di dalam batin kosong yang berdebu ini, entahlah. Manusia sekitar sudah membuangku dan semenjak itu aku tak lagi mau ambil pusing. Lakukanlah apa yang kau mau, dunia. Tinggalkan saja aku. Senyum kecil yang merekah di bibirku  belum tentu disadari dunia. Tetesan air mata dari mata sayuku juga pasti tak dihiraukan dunia.

Dunia membuangku. Aku si sampah dunia.

Bulan keempat sudah berlalu, dan ia tetap sama seperti sebagaimananya ia dahulu, saat aku baru mulai tertarik padanya. Kini aku mulai merasa terikat pada kepribadiannya. Seolah apa yang ia rasakan bisa aku rasakan juga. contohnya saja, hari ini ia belum menangis, tapi aku sudah merasakan rasa sakit di hatiku. Secara kasat mata, ia masih tersenyum dan terlihat ceria. Tapi hatiku sakit tanpa alasan. Aku sendiri tahu alasan satu- satunya adalah dia. Aku tidak punya lagi urusan dengan dunia, kan? Dia mungkin satu- satunya alasan aku masih hidup. Aku hidup untuk memperhatikannya. 

Menit berlalu, dan aku ingin menangis, tapi ia masih tertawa dengan teman- temannya.

Tak bisa kutahan lagi, air mataku menetes. Bersamaan dengan menetesnya air mataku, ia tiba- tiba menangis. Manusia- manusia itu sudah pergi dan kini ia sendiri. Tawanya lenyap, dan ia merosot, berjongkok di sudut ruangan dan menangis. Tiap sedu sedan dari diriku senada mengalun dengan sedu sedan nya. Tetesan air mataku berirama dengannya. Aku merasa satu dengannya. Ia adalah aku dan aku adalah dia, entah bagaimana menjelaskan fenomena ini.

Tahun berlalu dan semua semakin terlihat kompleks. Kompleks karena adanya suatu reaksi yang bertolak belakang. Sinar darinya menggelap. Tawanya kian menghilang, senyumnya pun meredup. Lepas dari itu, aku malah merasa bahagia. Meluap- luap, ada perasaan aneh yang menggebu- gebu dari dalam diriku, memaksaku untuk tertawa lepas hingga meneteskan air mata. Semangat hidupku bangkit kembali, mungkin aku harus berterimakasih padanya. Ia telah menularkan semangatnya padaku secara tidak langsung.

Hari ini aku bangkit dari kursi berdebu itu, dari posisi bersilaku. Aku membersihkan ruangan tempat aku berdiam diri ini dari debu dan kenangan buruk. Aku memandang wajahku di cermin dan sadar bahwa aku tampan. Aku membersihkan diri dan menuju dunia untuk pertama kalinya. Angin menerpaku, dan baru saat ini aku sadari betapa segarnya oksigen yang berdesak- desakan masuk dan memenuhi paru- paruku. Aku tertawa dan berkata, “Tenang, oksigen. Kalian semua mendapat tempat di rongga tubuhku kok!” lalu aku tertawa lagi, bahagia. Sungguh sangat bahagia. Jalan- jalan yang kulewati tampak berwarna, semua orang menyapaku dengan riang. Seorang anak kecil tersenyum memamerkan giginya yang baru tumbuh beberapa padaku, seorang wanita cantik mengedipkan matanya padaku, seorang pengamen jalanan memainkan alunan musik terindah dari gitarnya yang tertutup stiker- stiker usang.

Kutekankan sekali lagi, aku bahagia. Hari ini dunia kembali menerimaku, memelukku dalam keindahannya yang rupawan. Hatiku membuncah dan aku berjalan pulang sambil menari- nari kecil. Besok aku ingin melakukan ini lagi, pikirku. Aku akan memakai setelan baju terbaikku, menyemprotkan minyak wangi pada tubuhku, dan aku akan turun lagi ke jalan, beriringan dengan dunia dan semua manusia lainnya di dalamnya. Besok, aku akan kembali 'bermanusia'.

Dalam perjalananku menuju gubuk kecilku yang mulai menampakkan warna dan tanda- tanda kehidupan, refleks aku menghentikkan langkahku di depan rumahnya, rumah gadis manis berambut panjang yang penuh semangat itu. Entah kenapa, rumahnya lah yang kini terlihat gelap. Bobrok. Tak ada sinar- sinar kehidupan. Ia juga tak terlihat lagi. Tawanya tak lagi kudengar, derapan langkah kakinya yang seolah menarikan tap dance sudah tak bergema lagi di telingaku. 
Aku mengernyitkan dahi, lalu melangkahkan kakiku menjauh. Sudahlah, lupakan saja, sekarang hidup ada di depan mataku, memintaku untuk memeluk dirinya yang abstrak. Maka aku pun melupakannya, si gadis manis berambut panjang itu.

*

Sukacitaku hilang. Ada yang mencurinya, walau aku tak tahu siapa atau apa dan bagaimana caranya serta sejak kapan. Yang aku tahu, suatu pagi aku terbangun dengan perasaan aneh, seolah sebagian jiwaku pergi menghilang. Aku merasa kosong, seolah ada yang menarik ceria dari jiwaku. Aku sungguh tak mengerti, tapi senyuman tak bisa lagi kulontarkan. Kenapa? Berulang kali aku bertanya pada udara di sekitarku.

Aku dulu adalah gadis ceria yang berambut panjang dan manis, itu kata banyak orang padaku. Memang aku terkadang menangis di dalam gelap, tapi lepas dari itu aku masih bahagia. Tapi sekarang? Aku takut. Ada yang mencuri kebahagiaanku, senyumku, tawaku, vitalitas hidupku dari hadapanku. Aku terbangun dengan perasaan takut dan tidak dihargai. Aku lupa bagaimana caranya tersenyum. Saat aku menarik kedua bibirku menjauh ke masing- masing sisi, aku malah merasa sakit. Dan jelek. Ya Tuhan, aku jelek sekali.

Aku pusing tak karuan, marah- marah dan menyalahkan hidup atas semuanya. Tidak ada orang yang peduli pada perubahan emosiku, mungkin karena mereka pikir aku tidak mempunyai emosi apa- apa di dalam batin kosong yang berdebu ini, entahlah. Manusia sekitar sudah membuangku dan semenjak itu aku tak lagi mau ambil pusing. Lakukanlah apa yang kau mau, dunia. Tinggalkan saja aku. Senyum kecil yang merekah di bibirku juga belum tentu disadari dunia. Tetesan air mata dari mata sayuku juga pasti tak dihiraukan dunia.

Dunia membuangku. Aku si sampah dunia.

Otakku diambil alih oleh kesedihan dan amarah serta perasaan putus asa. Tak ada gunanya aku hidup. Tapi tiba- tiba, dalam kesedihanku aku melihat seorang lelaki tertawa bersama teman- temannya di jalanan, ia menertawakan tawaku, menyunggingkan senyumku, dan melangkahkan langkah kakiku yang seolah menarikan tap dance. Ia bahagia sekali, aku suka sekali melihatnya. Aku sadar aku tertarik padanya, pada tiap gerak geriknya, tiap senyumnya. Ia juga tampan sekali, ah indah sekali hidupnya. 

Tanpa sadar, aku meraih teropong di sebelahku. Aku mengambil posisi duduk bersila di atas kursi, dan mulai mengamatinya. Ikut tersenyum bersamanya dan menangis bersamanya.

*

Sudah beberapa hari ini aku, si gadis manis berambut panjang, mengamatinya. Mengobservasi tiap aktivitasnya, melihat tiap gerak- geriknya, memperhatikan tiap senyum dan tangisnya. 

Jangan sebut aku seorang penguntit, karena aku masih waras…





Saturday, June 22, 2013

Terima Kasih, Kampus Biru

aku akan selalu mengingat kenangan ini, kampus.
sisa tiga hari lagi, dan kupikir aku bisa lulus dengan rasa bangga. bangga dengan penelitianku, bangga dengan almamaterku. tiga hari lagi saja, tapi lalu aku harus kecewa.

dan sekarang, pragmatisme.

yang penting aku lulus, dan benar-benar bisa melambaikan tangan ke arahmu, gedung biru.
tak ada lagi rasa bangga yang kuharap terbersit ketika akhirnya tanda tangan itu dibubuhkan,
atau ketika aku naik ke atas panggung itu.

terima kasih, kampus.
terima kasih untuk 4 tahun yang berkesan ini.
tapi terutama,
terima kasih untuk hari ini.

21.6.13

Friday, June 14, 2013

tenggat

Kita semua berlari kesetanan, berusaha menang barang satu langkah saja di depan. Tapi sang tenggat lebih cepat, enggan telat.




Thursday, May 16, 2013

Panggung Kehidupan

Hidup sedang melakukan stand up comedy. Tentang aku.

Awalnya kupikir lucu. Tak apa jika Hidup menjadikanku topik favoritnya. Toh, tampaknya banyak yang menikmatinya. Ah, Hidup memang jago melucu. Tapi, kata Hidup, aku lah yang lucu -- ia hanya meminjam diriku sebagai topik. Aku senang-senang saja. Aku berkontribusi menorehkan senyum dan gelak tawa bagi mereka yang lain. Hidupku sangat penuh. Aku puas. Hidup puas. Mereka semua, para penonton itu, puas.

Tapi, lama-lama, kurasa kemampuan Hidup semakin menurun. Ia tidak lucu lagi. Tawa mereka juga tidak terdengar bahagia lagi untukku. Malah, aku sedih mendengar mereka tertawa. Apakah karena aku sudah jenuh mendengar kisah komedi yang sama sekali tidak baru bagiku? Bagaimana tidak, aku menjalani kisah itu. Akulah kisah itu. Tapi, mereka masih tertawa. Satu lawan seribu, kalau tidak seratus ribu, aku kalah dan menelan opiniku. 

Pengeras suara itu berdenging memekakkan telinga, begitu Hidup menginjak panggung reot itu dan mengetes suaranya. Panggung yang dinamakan atas dirinya, berhubung ia telah menjadi semacam bintang komedi: Panggung Kehidupan. Hidup tersenyum dulu menatap semua yang hadir, selalu begitu. Suasana hening yang familiar terasa selagi Hidup berusaha melakukan koneksi dengan para penikmat komedinya. Beberapa sudah menahan senyum, mungkin tak sabar mendengar kisah apa yang akan diangkat Hidup kali ini. Tak lama, Hidup bercerita. Tentang kegagalan seorang anak manusia dalam mengejar cita dan cintanya. Mereka, tentu saja, tertawa. 

Hidup ikut tertawa. Tak hanya suka bercerita lucu, ia juga suka tertawa. Hidup lalu melanjutkan kisah lain, yang sangat kupahami. Kisah mengenai seorang pria yang terlihat kuat, tapi suka menangis di malam hari. 

Apa-apaan ini. Sudah tidak lucu lagi, hey, Hidup. Apa yang lucu dari seorang pria yang suka menangis diam-diam dan selalu gagal ? Aku tak mau tertawa. Bukan tak mau lagi, tapi tak bisa. Bahkan untuk tersenyum demi menghargai Hidup pun aku sudah malas. 

Tapi semua tertawa, seolah memaksaku untuk ikut tertawa. Terkutuklah Solomon E. Asch dan Teori Konformitasnya, aku pun memaksa diri tersenyum. Tahukah kamu, betapa sakitnya tersenyum ketika kamu tidak merasa ingin melakukannya? Sadarkah kamu, betapa jelek senyuman itu ketika kamu tak lagi bahagia? Hidup melihat senyumku yang jelek, baginya itu sebuah materi komedi. Ia menunjukku, semua menatapku, lalu tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa sampai kata Tertawa itu sendiri kehilangan maknanya.


Sebuah lelucon baru lahir mengenai seorang pria yang sudah gagal, cengeng, jelek pula. 

--

Wednesday, May 15, 2013

Uang

Manusia boleh berencana, bermimpi setinggi menara Babel hingga membuat Tuhan murka. Manusia boleh menggantungkan harapan, menyusun to do list, wish list, bucket list--list apapun yang keterlaluan panjangnya, hingga pada satu titik menjadi kontradiktif dan tidak lagi masuk akal.
Tapi, selalu saja, selalu saja, ada kekuatan lain yang berperan. Kekuatan yang bisa meremas-remas kertas list tersebut dan melemparnya ke keranjang sampah terdekat. "Yippee-kai-yay,"  mungkin ia berdesis, merasa seperti John McClane, sedetik sebelum menuntaskan sebuah misi penting. Misi untuk mematahkan rencana, angan, harapan, apapun itu yang telah dipikirkan mentah maupun matang oleh si manusia.


Bukan, astaga, bukan Tuhan,




uang.


Thursday, May 9, 2013

Satu tahun


Dua bulan adalah waktu yang terlampau singkat untuk menentukan cocok tidaknya saya dengan profesi ini. Dua bulan menghasilkan prasangka dan penilaian yang keterlaluan mentah akan sesuatu yang memang sengaja tidak saya perlihatkan sepenuhnya. 

Satu tahun adalah waktu yang cukup, saya pikir, untuk berkontemplasi dan memproyeksikan masa depan saya. Satu tahun cukup lama, menurut saya, untuk belajar lebih banyak dan mengubah mental saya yang terjajah. Karena, saya akui, saya sebenarnya gelisah. Saya sebenarnya peduli. Tapi saya yang sekarang masih malu. Rasa malu yang merupakan sisa-sisa kepribadian asli saya yang introvert, yang ketika kecil sulit mencari teman. Saya perlu pecutan, saya rasa. Karena kegelisahan itu ada, mengusik, tapi ditahan kepribadian saya yang masih tertutup dan terkadang ragu seperti Thomas, murid Yesus itu. 

Satu tahun. Satu tahun untuk membuang rasa malu itu. Satu tahun untuk membunuh mental terjajah itu. Satu tahun deadline kamu. Sampai ketemu lagi dengan kamu yang baru, satu tahun lagi.

Sunday, April 28, 2013

Aku mau jadi Akira Kurosawa

Semalam aku bermimpi sampai empat babak. Empat kisah dalam satu kali tidur. Umumnya, pada hari-hari normal, mimpiku hanya satu sampai dua kisah. Tapi kemarin aku terlalu lelah, mungkin. Ada pengaruh paracetamol yang menyebabkan kantuk juga, pastinya. Intinya aku tertidur sampai belasan jam. Aku lupa menghitung berapa jam sebenarnya aku tertidur, dan sekarang pun aku lelah dan malas mengingat-ingat dan menghitungnya.

Aku menyesal tidak menyimpan catatan mengenai mimpi-mimpiku. Terutama karena terkadang aku merasa mimpi-mimpiku suka luar biasa, kalau difilmkan, bisa jadi percampuran genre science fiction, horror, thriller, rom-com, action. Siapa tahu, di kemudian hari, aku bisa seperti Akira Kurosawa, menulis naskah film berdasarkan mimpi-mimpiku.

Malam ini, sebelum tidur, aku menenggak empat gelas air putih sampai kembung. Harapanku, aku bisa terbangun di malam hari untuk ke toilet. Dari jurnal sains yang aku temukan di internet, orang yang sering terbangun di malam hari, lebih mudah mengingat mimpinya.

Aku bercerita ke temanku tentang keinginanku mengingat mimpi. Aku bertanya, apa dia pernah seperti itu. Dia tertawa, menjawab tidak, lalu menuduhku ingin lari dari kenyataan. Kau memang suka aneh, demikian ujarnya. Terkadang aku bingung, apa aku yang aneh, atau aku hanya belum menemukan teman yang sepemikiran saja.

Aku menjawab, tidak begitu. Mimpi-mimpiku tidak semuanya indah. Suatu hari aku bermimpi tentang neraka. Kau pikir aku mau terus mengingat-ingat neraka karena aku ingin lari ke neraka? Aku hanya merasa mimpi-mimpiku bisa jadi inspirasi kisah yang seru kalau saja aku bisa mengingatnya. Suatu novel, atau kompilasi antalogi cerita pendek yang absurd. Dia hanya mengangkat alis dan manggut-manggut. Entah apa maksudnya.

Malam ini, aku tidak bisa tidur. Seperti anak bocah yang begadang semalaman, terlalu semangat karena esok harinya mau pergi bertamasya ke pantai, aku terlalu menantikan mimpi, yang tidak kunjung datang. Malam ini, alih-alih bermimpi, aku ada di depan laptop, menulis tentang mimpi. Mimpi-mimpi yang tidak bisa kuingat, mimpi-mimpi yang tidak kumiliki.