Sunday, April 24, 2011

Boleh diabaikan karena tulisan ini tidak akan berguna untukmu

sering aku memilih untuk duduk di tengah keramaian, bertemankan buku dan secangkir teh. terkadang kopi, saat kepala sedang bisa diajak kerja sama.
memperhatikan setiap orang di sekeliling, dengan segala keunikannya, kebiasaannya. menjadi setitik debu kecil di tengah cengkerama, tawa, desahan, senyuman, desisan. menjadi kasat mata bagi dunia yang sibuk di sekeliling. menjadi pengamat. meneliti, tanpa harus membuat sebuah laporan tertulis. mencatatnya dalam pikiran, menebak-nebak apa sekiranya yang sedang dialami setiap aktor kehidupan itu.
apa perannya? kueksposisikan.
latar belakangnya, perkiraan setting tempat waktu dan suasana, semua aku yang mengatur. merasa menjadi Tuhan, aku menciptakan dunia kecil dimana imajinasi dan ekspektasi pribadi menempati anak tangga teratas.
apa konfliknya? sejak detik berapa tepatnya sebuah aksi mulai meninggi? kapan klimaks? kapan resolusi?
semua kutebak. kukarang. dan sekiranya aku terhibur, karena masih ada imajinasi yang mau menemani ketika aku terisolasi dari dunia. karena masih ada para aktor kehidupan itu, rela dijadikan sampel pengamatan, meski mereka tak tahu dan kemungkinan pun tak mau andaikan tahu.

seorang lelaki tua beretnis Tionghoa menghisap rokoknya dalam-dalam, begitu mendalam, kuperhatikan. alisnya hingga bertaut, matanya memejam, pipinya kempot seiring semakin dalam isapannya. seolah ia ingin bersatu dan melebur dengan asap nikotin. ia terbatuk keras, lalu mendecak kesal. asapnya mengitari orang-orang di sekitarnya, namun tak ada yang ambil peduli. asap tembakau telah menjadi bagian normal dari hidup. penyakit kanker telah menentukan lamanya hak manusia untuk merasai bumi, namun malaikat maut dijadikan terdakwa.
lelaki tua itu tampak merenung. entah apa yang direnungkannya. bisa saja istri yang sakit-sakitan di rumah, atau anak durhaka yang telah lama tidak berkunjung. bisa saja ia sedang melakukan perjalanan waktu, terbawa dalam mesin waktu imajiner yang terbuat dari serat-serat memori, mengunjungi masa lampau. masa-masa ketika rambutnya masih lagi hitam (terkadang pirang kemerah-merahan demi tuntutan pergaulan), ketika mukanya masih lagi mulus tanpa kerut, ketika ia mampu merokok dan menghisap cerutu hingga dadanya menggembung tanpa harus terbatuk seperti barusan.
tiba-tiba ia pergi. perannya dalam naskah koinsidentalku berakhir dengan batang rokok yang dijatuhkan secara sengaja dan diinjaknya menggunakan sandal rumahnya.
ia melangkah pergi. mungkin untuk membeli rokok lagi. mungkin ia memang ingin mati. siapa yang tahu? jangan percaya, ini hanya hibrida antara imajinasi dan suasana hatiku sebagai sutradara yang kebetulan saja suram. bisa saja suratan takdir hidupnya berubah saatku sedang dilanda bahagia, entahlah.
apa itu yang terjadi pada manusia? mengapa jalan hidup setiap orang berbeda-beda? nasib orang berbeda-beda? apa tergantung rasa yang sedang dikecap Tuhannya masing-masing? saat Tuhan sedih, muramlah hidupnya. saat Tuhan tertawa senang, muluslah jalannya?
begitukah?
totaliterkah Ia? otoriter? fasis?
ah tapi lagi-lagi, ini subjektivitas pemikiranku. suasana hati yang murung dan hari yang mendung menghasilkan persepsi ketuhanan yang tanggung. lagipula, siapa ini aku sehingga menyamakan diri dengan yang di atas sana?

aku jelas-jelas bukan Schopenhauer yang dengan berani bisa mencari ribut dengan Tuhan dan umat-Nya dengan mengatakan, dunia ini diciptakan bukan oleh sebuah entitas penuh kasih, tapi entitas jahat yang membawa makhkuk hidup ke dalam lingkup eksistensi hanya untuk melihat mereka menderita.

aku hanya mahasiswa Semester 5 dengan kadar imajinasi yang berlebihan.

hujan berhenti.
sinar matahari benar-benar turun menyusupi celah-celah tenda, seolah menyadarkanku untuk pulang dan memberi kehidupan pada perutku.
tapi aku tak bisa berhenti. pantatku menempel pada kursi besi ini, mataku masih bergerak-gerak liar, mencari siapa sekiranya manusia yang bisa kujadikan bahan observasi? yang bisa kujadikan mangsa imajinasi. tak kusangka, kesendirian itu ternyata sebuah candu.
tanganku mulai bergerak, mencoret-coret kertas di depanku. sementara itu setiap manusia yang ada di tempat ini telah beranjak menyambut mentari sehabis hujan siang paskah, melewatiku tanpa memiringkan bola mata. seolah aku kasat mata. seolah aku bukan manusia.
apa ini berarti aku dewa? roh? Tuhan?

demi ilmu pengetahuan dan kesejahteraan seluruh umat manusia, apa coba yang kukicaukan dari tadi. perut meraung lagi, ponsel pun berteriak-teriak minta diberi asupan arus listrik agar hidup kembali.
aku beranjak dari tempatku. bukan sekedar untuk menyambut mentari, tapi untuk hidup.

random writing @ Downtown Walk Summarecon Mal Serpong
24th April 2011. sekitar jam satu siang, sepulang ibadah paskah. lapar, bokek, terjebak hujan. 

Wednesday, April 13, 2011

Hakikat Jari Tengah


“Kalau ini jari telunjuk,” Ia mengacungkan sebuah jari, menunjuk ke atas. “Buat nunjuk Tuhan di atas surga.”
“Kalau ini ibu jari,” lanjutnya, “Seperti OK?”
“Kalau ini jari manis,” senyumnya sambil mengelus pelan jari yang ideal itu, “Nanti kalau menikah cincinnya dipasang di sini.”
“Kalau ini kelingking,” keempat jarinya ia tekuk, sisa si kecil yang kurus di ujung tangan, “Paling kecil, paling lemes, tapi paling imut."

“Kalau ini?” 

Dengan tegas ia mengacungkan sebuah jari terpanjang dari tangannya. Tepat di depan wajahku.
Aku tertawa, “Dia beda, gak punya nama keren. Ya namanya cuma jari tengah aja.”
Aku menurunkan jari tengah kecilnya yang masih terpampang di depan hidungku, terganggu. Untuk orang yang telah hidup lama, jari itu memang emblem ketidaksopanan.
Tapi ia mengeleng.

“Ada, kok. Fuck you.” ucapnya, entah memang polos, entah bermakna implisit.
Sedetik kemudian ia kembali asyik dengan boneka beruangnya.

anomie? 
You tell me.

*Ketika kekuatan media meracuni mulut penerus bangsa dan mendistorsi harga diri jari tengah.

Friday, April 8, 2011

ke-mestakung?

Pak Yohanes Surya yang terhormat,
tolong jawab pertanyaan saya.

kenapa semesta tidak mendukung?


itu saja.
karena saya sudah berjerih payah hingga keringat saya kembali mengering, namun sekitar saya tetap hening.
karena saat ini saya sedang dalam kondisi kritis, menanti jalan keluar, namun tak mampu melihat satu cahaya pun sebagai penunjuk jalan.
karena sepengetahuan saya, saya sudah melangkah keluar, namun kegelapan yang menyambut.
apa saya kurang tekun?
sehingga semesta merasa saya belum pantas untuk diampu?

saya memang bukan pakarnya.
saya tidak mengerti konsep anda secara mendalam.
saya hanya merasa dunia tidak lagi bersinergi dengan tepat di sekitar saya.
semesta seolah berselingkuh untuk mendukung semua orang di sekitar saya,
kecuali diri saya sendiri.

3 langkah bukan?
kritis. langkah. tekun.

secara sepihak saya akan mengatakan bahwa saya telah memenuhi ketiganya.
tapi saya pun belum tentu memahami setiap aspek diri saya.
ada saat-saat dimana saya merasa asing dengan diri saya.
ada satu masa dimana saya takut terhadap diri saya sendiri.

jadi,
saya tidak tahu.

tapi tolong dijawab saja,

ke-mestakung?
kenapa semesta tidak mendukung?

---

para 'monyet' bodoh

tak melihat,
mendengar,
ataupun
berbicara
tentang kejahatan.

itu 3 kera bijaksana.
monyet.
itu dongeng.

tak melihat,
mendengar,
ataupun
berbicara
untuk rakyat.

itu para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.
manusia.
itu realita.

jangan salahkan saya kalau saya lebih simpatik pada monyet dan imajinasi fiktif dibanding pada anda-anda yang jelas-jelas adalah sebuah realita.

---

Thursday, April 7, 2011

spektrum cahaya

bawa aku pergi.

aku tak peduli kemana kau akan membawaku, bawa saja aku ke tempat yang terang.
karena aku sekarang tak lagi menyaksikan keajaiban.
aku kehilangan warna yang dulu bermain-main di depanku, dulu mengajakku bermain dan berimajinasi.
sekarang yang dapat kukecap hanyalah hitam dan putih.
kalaupun ada sedikit variasi, itupun abu-abu, hasil perkawinan lari si hitam dan putih.

tarik saja tanganku.

aku bergeming bagaikan patung di perempatan jalan ini. melihat empat cabang di sekitarku yang sama gelapnya dengan langit malam yang pekat tanpa bulan.
menerka mana yang paling tepat, mana yang akan membunuhku dan mana yang akan membuatku bernapas.
kalau kau menyentuh sedikit saja tanganku, dan menariknya, aku akan ikut.
pasrah.
asal kau berjanji tarikanmu akan berakhir pada terang.

oh ya, aku tidak butuh silau.
aku hanya butuh cahaya yang cukup.
spektrum cahaya yang berwarna-warni, bukan hitam-putih, seperti kini.
secercah saja, untuk melipur lara yang telah dirasakan mataku sejak lama.
jangan terlalu tinggi intensitasnya, aku malah takut aku akan buta.

Wednesday, April 6, 2011

Grasi

sebegitu saktikah emosi, sehingga ia bisa menjauhkan yang dekat?
mendekatkan yang jauh?
membicarakan yang di belakang?
menusuk yang di depan?
merusak kepercayaan dan harapan?

sebegitu besarkah ego, sehingga ia bisa merubah persepsi?
merubah hidup sekalian, kalau saja kesempatan memberi tanda persetujuan?
menyebar fitnah,
racun,
dusta,
fakta yang dirasuki fiksi,
hingga merusak nama yang telah dibangun bersama dengan keringat bercucuran, malam-malam panjang, air mata, dan dingin yang menusuk tulang?

maka, sebegitu bodohkah mulut sehingga mau-mau saja menjadi media pengemban dosa?
dituduh generalisasi sekilas bahwa eksistensinya hanya membawa masalah?
disalahkan dalam kitab suci,
dituding oleh masyarakat,
ditampar ketika terus bercuap,
dibubuhi rawit panas ketika berdusta,
sementara ia hanya mengemban tugas dari emosi dan ego?

karena mata tak mau berbohong, toh ia jendela dunia,
terlalu sering dijadikan barometer pengukur kejujuran.
karena tangan memilih untuk terikat di belakang,
merasa terlampau keras dan kejam jika harus ikut campur.
karena kaki harus terus berpijak di tanah,
melayang-layang hanya akan membesarkan kepala hingga akhirnya meledak.
karena ketika semua menolak,
mulut terpaksa menerima jabatan prestisius dari emosi dan ego. 
"penyambung lidah, seperti nabi",
mungkin itu iming-iming dari emosi dan ego.

lantas.
siapa sesungguhnya yang harus dikekang, diikat, ditahan, ditampar, dibubuhi rawit?

sang mulut?
atau emosi dan ego?

Sunday, April 3, 2011

subjektif

katakanlah,
apakah saya menyedihkan karena senantiasa selamanya mencintai orang yang salah?

apakah ia egois, karena senantiasa selamanya membuat saya terus mencintainya dengan salah?

tidak, saya tidak menyedihkan.
ia pun tidak egois.


tapi ia jahat.


sekarang siapa yang egois?