Saturday, October 30, 2010

Indonesia?

Mata-mata itu memandang kosong
Tak percaya bahwa dalam sekejap semua bisa menghilang
Pakaian ini telah mereka pakai selama tiga hari
Basah, lalu mengering kembali
Anak-anak menangis, merengek minta disuap
Andai saja tanah bisa dimakan, mereka akan menyajikannya di atas piring emas,
Yang penting mulut-mulut kecil itu puas.
Getaran demi getaran sudah bosan mereka rasakan,
Jika kecil, biarlah cepat berlalu.
Jika besar, mulut komat-kamit, mata terpejam,
Berharap Ia mau mengampuni semua dosa dan hina.
*
Di tempat lain,
Beberapa anggota dewan sedang berunding,
Wajah mereka tampak serius.
Tampak seolah sedang berusaha memecahkan sesuatu,
Hingga seseorang berucap dengan keras, “Oleh-oleh apa ya yang enak buat biniku?”
Satu kalimat terucap saja, lalu semua tertawa menimpali dengan jawaban-jawaban yang lucu.
Mereka tertawa, mata mereka menyipit bahagia, sementara mata-mata yang disana sembap habis membuang tangis.
*
Beberapa anak muda di mal mewah ibukota sedang bersosialisasi.
Tangan mereka sibuk menggenggam blackberry,
Benda ajaib yang sanggup membuat mereka tak melakukan apa-apa seharian.
“Di Mentawai barusan tsunami loh. Merapi juga meletus. Di twitter heboh deh.”
“Aduuuuh serem banget. Mau kiamat kali ya.”
Pekikan kecil terdengar, mata-mata itu terbelalak lebar.
*
Di luar sana, jauh di sana, melintasi batas,
Seorang penyanyi turun dari panggung, menyelesaikan serangkaian tur konsernya.
Dengan cepat ia merogoh blackberry,
Lalu mengetik : Just heard of the tragedy in Indonesia. Pray for Indonesia. We love you.
Tak lupa tanda pagar tersebut ia cantumkan. Hashtag. Hashtag. Hashtag.
Setelah itu, ia menyulut rokoknya, lalu tersenyum menyambut penggemar-penggemarnya.
Ia mungkin lupa akan apa yang ia ketik tadi.
Yang ia ingat hanyalah bahwa ia up to date.
Anything for good publicity.
*
Malam mendekat, beberapa mahasiswa sedang berkumpul.
Tangan mereka juga menggenggam blackberry, sebuah gadget keramat.
Mereka menggerutu. mengkritisi. Merasa pintar. Berkoar.
 “Anggota DPR malah ke luar negeri? Makan tuh perwakilan rakyat!”
“Mana presiden kita? Mana? Pasti lagi nyanyi di Vietnam.”
“Malu gue sama Negara ini. Malu.”
“Apa perlu kita demo saja mereka?”
Keesokan harinya mereka akan memegang pengeras suara,
Lalu duduk berjam-jam di depan gedung beratap hijau itu.
Entah apa tujuannya.
Menyadarkan para tetua? Sia-sia. Mereka sesungguhnya tahu itu.
Tapi lebih baik tersulut emosi daripada duduk di kelas, mendengar ceramah dosen yang menurut mereka sampah.
Karena mereka kritis. Karena mereka idealis.
*
Media berlomba, bersaing memberi informasi dengan cepat per detik.
Organisasi masyarakat, para pengamat sosial dan politik saling berdebat,
Berdiskusi di dunia nyata dan maya.
Tak jarang tuduhan, cacian, makian terlontar,
Nama-nama disebut sebagai penyebab bencana.
“Usir mereka dari Indonesia, niscaya bencana usai!”
Begitu besar keinginan untuk menyucikan diri, hingga melampaui batas-batas logika.
*
Malam sampai, jalanan ramai.
Macet, lebih tepatnya.
Hujan lebat memang tak pernah lagi membawa berkah layaknya dulu.
Wajah-wajah kurus tersebut memantengi layar televisi 14 inci di warung kopi,
Menggeleng, berdecak, tapi tahu tak bisa berbuat apa-apa.
“Subhanallah”
Tapi mereka hanya mengurut dada, tahu semua sia-sia.
 “Kita rakyat kecil, bisa buat apa?”
*
Kembali ke wajah-wajah kotor yang sedang menatap langit malam, menunggu bala bantuan terjun bebas dari atas sana.
Mereka tak peduli pada blackberry,
Italia, Vietnam, Yunani, para wakil rakyat,
Artis siapa yang mendoakan mereka di situs-situs maya,
Public figure mana yang tertuduh sebagai pemicu bencana,
Cibiran, kritikan, skeptisme masyarakat,
Mereka tak peduli.
Mereka hanya ingin makanan.
Minuman.
Obat-obatan,
Serta rumah baru.

Mulut- mulut kecil itu masih merengek
Mata-mata itu kembali berair,
Bertanya-tanya apa dosa besar yang sekiranya telah membuat Sang Khalik murka.
Sayup-sayup terdengar harapan yang belum termanifestasi, masih kasat dalam hati.
Hiduplah Indonesia Raya.
Walau rupamu sudah tercoreng moreng,
Tetaplah hidup.
Nyes.
28okt2010. 4:22 AM.
Pasca gempa&tsunami Mentawai, Erupsi Gunung Merapi, dan Banjir Jakarta.
Bukan skeptis. Kritis. Apalagi anarkis.
Hanya sedang ingin menulis. Peace! J
.

4 comments: