Saturday, February 6, 2016

Tentang Makan Siang Sambil Menonton dan Membaca di Hari Libur

Makan siang di hari libur dulu biasa saja. Tapi, sekarang, saat bangun pagi di hari libur, memikirkan mau makan siang apa sambil menonton serial televisi favorit atau membaca buku tanpa memikirkan beban pekerjaan, sudah cukup membuatku semangat memulai hari. Dan ketika kegiatan itu benar-benar kulakukan, aku tidak bisa berhenti nyengir-nyengir kuda. 

Tentu saja, konsekuensi dari bahagia yang sederhana itu adalah, ia cepat berlalu. Sesaat sebelum suapan nasi terakhir, aku biasanya akan merasa sedikit kehilangan. Seolah satu gelembung sabun yang ditiup, mengawang sekian detik dengan indahnya di udara, lalu meletus. Bahagiaku terlalu cepat berakhir.

Tapi untungnya, seperti gelembung sabun yang bisa terus diproduksi selama masih ada sabun, ia gampang diwujudkan. Kebahagiaan kecil berupa makan siang di hari libur sembari menyalurkan hobi menonton dan membacaku adalah kegiatan yang tidak sulit dicapai. Aku tinggal menunggu momen akhir pekan atau hari libur berikutnya. Dengan kata lain, ada optimisme di situ. Pengharapan akan hari esok. Lucu, sesuatu yang terlampau sederhana dan lekas seperti itu sudah cukup membuatku ingin tetap hidup.

Bahagiaku semakin sederhana, juga lekas. Tapi, apakah kualitas kebahagiaan berarti menurun? Dalam percakapan setengah mabuk dengan sejumlah teman, pada suatu malam Sabtu, temanku yang memang pembaca ulet, mengutip filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram. Aku sedikit lupa rincinya kata-kata temanku karena saat itu aku pun sudah mulai sedikit teleng. 

Tapi intinya, menurut Ki Ageng Suryomentaram dan ilmu bahagianya, kebahagiaan dimulai dari diri sendiri. Dari menengok batin atau jiwa diri sendiri, menjajaki dan mengenali diri sendiri. Bukan orang sekitarmu. Semua tergantung kontrol dirimu. Aku jadi teringat ajaran stoisisme di zaman Yunani Kuno, yang sekarang mulai dimunculkan lagi dalam bentuk buku-buku self-help untuk membantu manusia modern menjalani hari-hari yang semakin penat.

Aku juga jadi teringat ajaran Taoisme-nya Lao Tzu. Knowing others is wisdom, buat knowing the self in enlightenment.  

Terima saja, kita lahir ke dunia ini sendiri, dan akan mati sendiri pula. Kita menjalaninya juga sendiri, mungkin iya dengan bantuan orang-orang sekitar kita, karena bagaimanapun juga kita adalah makhluk sosial -- dikasihi untuk bisa mengasihi diri, dipahami untuk bisa memahami diri. Tapi pada dasarnya, semua kembali pada diri sendiri, itu faktor utama -- mengasihi diri untuk bisa dikasihi, memahami diri untuk bisa dipahami. 

Aku mengawali tahun ini dengan semangat yang sama dengan Ki Ageng Suryomentaram. Aku ingin mengenal, memahami, dan mencintai diri sendiri. Suatu proses yang sulit, yang kusadari sangat penting karena akan berpengaruh pula pada bagaimana aku mencitrakan diri dan memperlakukan orang lain di sekitarku. Sesederhana kutipan-kutipan klise di film-film romantis, atau buku-buku novel remaja, bagaimana kau mau mencintai orang lain kalau tidak mencintai dirimu sendiri. Kata-kata klise itu memang lucu. Mereka sebenarnya mengandung filosofi hidup paling mendasar dan kebenaran yang mencerahkan, tetapi kehilangan makna akibat frekuensi penggunaan yang terlalu berlebihan. 

Kembali soal kualitas kebahagiaan. Apakah bahagia yang lebih sederhana itu sesuatu yang baik atau buruk? Apakah bahagia karena bisa makan siang dengan santai di hari libur lebih rendah nilainya daripada bahagia karena menemukan jodoh, karena mendapat promosi, atau karena bisa berjalan-jalan keliling Eropa? Kembali lagi, bahagia kembali ke diri sendiri. Apakah aku bahagia ketika sedang makan siang? Sangat. Apakah level kebahagiaannya sama dengan disapa oleh gebetan? Sejujurnya, kurang lebih, entah bagaimana, sama. Apakah setelah itu aku masih bahagia? Tidak terlalu, biasa saja, karena momen bahagia makan siang memang hanya sesaat, tergantung secepat apa kau menghabiskan makan siangmu. Tapi pada saat makan, aku bahagia, aku ingin selama mungkin memperpanjang momen makan siang itu.

Apakah aku bahagia ketika melakukan pekerjaan bagus dan diberi kepercayaan akan pekerjaan lebih besar? Aku bahagia. Bagaimanapun, mengutip Maslow, aktualisasi diri itu ada di diagram teratas segitiga kebutuhan manusia. Tapi ternyata tidak sebahagia makan siang di hari libur. Karena setelah bahagia itu, muncul rasa khawatir dan rasa takut apakah aku layak, apakah aku bisa melakukannya. Seorang pseudo-perfeksionis sepertiku dengan mudah bisa membalikkan suatu pencapaian ke kekhawatiran eksistensial. Apakah aku bahagia ketika bertemu seorang pria baik, menarik, dan asyik diajak berbicara? Bahagia. Tapi sejarah kehidupan cintaku telah mengubahku menjadi seorang pesimis yang realistis. Bahwa cinta punya tenggat. Ada expiration date yang tidak diketahui kapan -- bisa cepat, bisa saja lama, tapi bahwa pada suatu titik akan berakhir. Maka, apakah aku bahagia? Tentu saja bahagia, tapi dilapisi perasaan lain berupa was-was, antisipasi kekecewaan serta patah hati. Tetap tidak sebahagia makan siang di hari libur sambil membaca buku atau menonton film favoritku. Karena kegiatan itu begitu sederhana, makan siangku tidak akan membuatku kecewa dan patah hati, makan siangku tidak membuatku khawatir dan krisis kepercayaan diri -- apalagi krisis eksistensial.

Standar kebahagiaanku semakin sederhana, tapi bukan berarti roso, rasa bahagia di dalam diriku, berkurang kualitasnya. Kenyataan hidup yang pahit saja yang membuatku lebih suka menggantungkan kebahagiaanku pada hal-hal sederhana, momen-momen kecil seperti menikmati makan siang di hari libur yang santai. 

Memang, di satu sisi, standar bahagia yang sederhana bisa saja dipandang sebagai cerminan kualitas hidup yang memburuk. Atau, gambaran kesadaran manusia yang pelan-pelan mulai terbentuk terhadap fakta bahwa hidup itu tidak semanis gula-gula kapas, tapi sama rapuhnya. 

Bisa saja. Tapi aku memilih meneropong dari sudut lain. Bahwa, yang terpenting, aku masih bisa bahagia.

Seperti tetap tampil menawan dengan baju bekas murah yang dibeli di Pasar Senen dan direndam seharian dengan cairan Dettol. Kualitas bahagiaku tidak berkurang, meski bahagiaku receh. Karena pada saat aku makan siang dengan santai di hari libur sembari menonton ulang Friends, siang ini, aku bahagia, tanpa rasa khawatir. Sebahagia-bahagianya bahagia. 



Itu diriku, standar kebahagiaanku yang akan aku nikmati selagi ada, di tengah hidup yang pahit asam manis kecut, seperti nano-nano ini. 

Sunday, May 25, 2014

Tidak ke mana - mana

Konteks mengubah segalanya. Kalimat berikut "Saya tidak ke mana-mana" dapat berarti dua hal, tergantung konteks apa yang digunakan. "Saya tidak ke mana-mana" ketika diucapkan oleh seorang ibu kepada seorang anaknya yang ketakutan setelah menonton film horor dapat bermakna sangat positif. Sebuah kepastian. Penghiburan. Rasa aman. Di lain hal, ada "Saya tidak ke mana-mana" yang bila diterapkan dalam konteks seorang wartawan pemula yang berusaha sekeras mungkin dan ternyata usahanya tidak sebanding dengan harapan yang dibebankan padanya, maknanya berubah 360 derajat. "Saya tidak ke mana-mana" yang keluar sebagai ucapan nyaris putus asa, karena, setelah nyaris 8 bulan berkecimpung dalam pekerjaan rawan stress ini, dalam 3 minggu terakhir, dia benar-benar tidak ke mana-mana. Dia ke berbagai tempat, memang. Secara fisik. Tapi secara substansi, dia tidak ke mana-mana. Kalau dunia akan dihantam meteor besar dan hanya ada kursi untuk lima orang di roket besar buatan Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, dia tidak akan masuk hitungan. Bahkan kalau kursi yang tersisa ada 50 pun, dia akan ditinggal.
Karena dia tidak ke mana-mana. Dia terus melakukan kesalahan dan kebodohan yang sama. Terus-menerus di titik yang sama. Sampai bumi meledak dihantam meteor pun, dia tidak akan ke mana-mana.

Saturday, December 7, 2013

Si Penguntit

Sudah beberapa hari ini aku mengamatinya. Mengobservasi tiap aktivitasnya, melihat tiap gerak- geriknya, memperhatikan tiap senyum dan tangisnya. Jangan sebut aku seorang penguntit, karena aku masih waras.

Aku suka saja memperhatikannya. Senyum itu, wajah manis itu, rambut indah yang hitam panjang itu, bagaimana dia memeluk dan mencintai hidup. Aku, yang sudah tidak bisa melakukan apa- apa ini merasa terhibur dengan semangat dan vitalitas luar biasa yang terpancar dari matanya, dari langkahnya, dari tawanya, dari setiap kata yang meluncur dari bibirnya.

Tanpa terasa, minggu berlalu dan aku tetap bertahan di posisiku sekarang. Memperhatikan. Mengobservasi. Tingkahku sudah seperti seorang peneliti, dan ia adalah subjek penelitianku. Ya, minggu berlalu dan aku masih setia mengamati kehidupannya. Terkadang aku ikut tertawa saat ia tertawa, terkadang juga aku menangis seolah deritanya adalah deritaku. Tak ayal, aku bisa marah- marah dan geram sendiri pada kejadian buruk yang menimpanya, gemas melihatnya tetap tersenyum saat problematika kehidupan menimpanya. Ingin aku melihatnya marah. Ingin sekali.

Bulan berlalu. Observasi yang kulakukan padanya masih berjalan. Tapi sekarang bukan hanya sekedar sebuah penelitian. Ada perasaan aneh saat aku kembali duduk di kursi ini, bersila dan mengambil teropong untuk memperhatikannya. Sedikit saja aku ketinggalan gerak geriknya, aku bisa mencak- mencak sendiri.
Tidak ada orang yang peduli pada perubahan emosiku, mungkin karena mereka pikir aku tidak mempunyai emosi apa- apa di dalam batin kosong yang berdebu ini, entahlah. Manusia sekitar sudah membuangku dan semenjak itu aku tak lagi mau ambil pusing. Lakukanlah apa yang kau mau, dunia. Tinggalkan saja aku. Senyum kecil yang merekah di bibirku  belum tentu disadari dunia. Tetesan air mata dari mata sayuku juga pasti tak dihiraukan dunia.

Dunia membuangku. Aku si sampah dunia.

Bulan keempat sudah berlalu, dan ia tetap sama seperti sebagaimananya ia dahulu, saat aku baru mulai tertarik padanya. Kini aku mulai merasa terikat pada kepribadiannya. Seolah apa yang ia rasakan bisa aku rasakan juga. contohnya saja, hari ini ia belum menangis, tapi aku sudah merasakan rasa sakit di hatiku. Secara kasat mata, ia masih tersenyum dan terlihat ceria. Tapi hatiku sakit tanpa alasan. Aku sendiri tahu alasan satu- satunya adalah dia. Aku tidak punya lagi urusan dengan dunia, kan? Dia mungkin satu- satunya alasan aku masih hidup. Aku hidup untuk memperhatikannya. 

Menit berlalu, dan aku ingin menangis, tapi ia masih tertawa dengan teman- temannya.

Tak bisa kutahan lagi, air mataku menetes. Bersamaan dengan menetesnya air mataku, ia tiba- tiba menangis. Manusia- manusia itu sudah pergi dan kini ia sendiri. Tawanya lenyap, dan ia merosot, berjongkok di sudut ruangan dan menangis. Tiap sedu sedan dari diriku senada mengalun dengan sedu sedan nya. Tetesan air mataku berirama dengannya. Aku merasa satu dengannya. Ia adalah aku dan aku adalah dia, entah bagaimana menjelaskan fenomena ini.

Tahun berlalu dan semua semakin terlihat kompleks. Kompleks karena adanya suatu reaksi yang bertolak belakang. Sinar darinya menggelap. Tawanya kian menghilang, senyumnya pun meredup. Lepas dari itu, aku malah merasa bahagia. Meluap- luap, ada perasaan aneh yang menggebu- gebu dari dalam diriku, memaksaku untuk tertawa lepas hingga meneteskan air mata. Semangat hidupku bangkit kembali, mungkin aku harus berterimakasih padanya. Ia telah menularkan semangatnya padaku secara tidak langsung.

Hari ini aku bangkit dari kursi berdebu itu, dari posisi bersilaku. Aku membersihkan ruangan tempat aku berdiam diri ini dari debu dan kenangan buruk. Aku memandang wajahku di cermin dan sadar bahwa aku tampan. Aku membersihkan diri dan menuju dunia untuk pertama kalinya. Angin menerpaku, dan baru saat ini aku sadari betapa segarnya oksigen yang berdesak- desakan masuk dan memenuhi paru- paruku. Aku tertawa dan berkata, “Tenang, oksigen. Kalian semua mendapat tempat di rongga tubuhku kok!” lalu aku tertawa lagi, bahagia. Sungguh sangat bahagia. Jalan- jalan yang kulewati tampak berwarna, semua orang menyapaku dengan riang. Seorang anak kecil tersenyum memamerkan giginya yang baru tumbuh beberapa padaku, seorang wanita cantik mengedipkan matanya padaku, seorang pengamen jalanan memainkan alunan musik terindah dari gitarnya yang tertutup stiker- stiker usang.

Kutekankan sekali lagi, aku bahagia. Hari ini dunia kembali menerimaku, memelukku dalam keindahannya yang rupawan. Hatiku membuncah dan aku berjalan pulang sambil menari- nari kecil. Besok aku ingin melakukan ini lagi, pikirku. Aku akan memakai setelan baju terbaikku, menyemprotkan minyak wangi pada tubuhku, dan aku akan turun lagi ke jalan, beriringan dengan dunia dan semua manusia lainnya di dalamnya. Besok, aku akan kembali 'bermanusia'.

Dalam perjalananku menuju gubuk kecilku yang mulai menampakkan warna dan tanda- tanda kehidupan, refleks aku menghentikkan langkahku di depan rumahnya, rumah gadis manis berambut panjang yang penuh semangat itu. Entah kenapa, rumahnya lah yang kini terlihat gelap. Bobrok. Tak ada sinar- sinar kehidupan. Ia juga tak terlihat lagi. Tawanya tak lagi kudengar, derapan langkah kakinya yang seolah menarikan tap dance sudah tak bergema lagi di telingaku. 
Aku mengernyitkan dahi, lalu melangkahkan kakiku menjauh. Sudahlah, lupakan saja, sekarang hidup ada di depan mataku, memintaku untuk memeluk dirinya yang abstrak. Maka aku pun melupakannya, si gadis manis berambut panjang itu.

*

Sukacitaku hilang. Ada yang mencurinya, walau aku tak tahu siapa atau apa dan bagaimana caranya serta sejak kapan. Yang aku tahu, suatu pagi aku terbangun dengan perasaan aneh, seolah sebagian jiwaku pergi menghilang. Aku merasa kosong, seolah ada yang menarik ceria dari jiwaku. Aku sungguh tak mengerti, tapi senyuman tak bisa lagi kulontarkan. Kenapa? Berulang kali aku bertanya pada udara di sekitarku.

Aku dulu adalah gadis ceria yang berambut panjang dan manis, itu kata banyak orang padaku. Memang aku terkadang menangis di dalam gelap, tapi lepas dari itu aku masih bahagia. Tapi sekarang? Aku takut. Ada yang mencuri kebahagiaanku, senyumku, tawaku, vitalitas hidupku dari hadapanku. Aku terbangun dengan perasaan takut dan tidak dihargai. Aku lupa bagaimana caranya tersenyum. Saat aku menarik kedua bibirku menjauh ke masing- masing sisi, aku malah merasa sakit. Dan jelek. Ya Tuhan, aku jelek sekali.

Aku pusing tak karuan, marah- marah dan menyalahkan hidup atas semuanya. Tidak ada orang yang peduli pada perubahan emosiku, mungkin karena mereka pikir aku tidak mempunyai emosi apa- apa di dalam batin kosong yang berdebu ini, entahlah. Manusia sekitar sudah membuangku dan semenjak itu aku tak lagi mau ambil pusing. Lakukanlah apa yang kau mau, dunia. Tinggalkan saja aku. Senyum kecil yang merekah di bibirku juga belum tentu disadari dunia. Tetesan air mata dari mata sayuku juga pasti tak dihiraukan dunia.

Dunia membuangku. Aku si sampah dunia.

Otakku diambil alih oleh kesedihan dan amarah serta perasaan putus asa. Tak ada gunanya aku hidup. Tapi tiba- tiba, dalam kesedihanku aku melihat seorang lelaki tertawa bersama teman- temannya di jalanan, ia menertawakan tawaku, menyunggingkan senyumku, dan melangkahkan langkah kakiku yang seolah menarikan tap dance. Ia bahagia sekali, aku suka sekali melihatnya. Aku sadar aku tertarik padanya, pada tiap gerak geriknya, tiap senyumnya. Ia juga tampan sekali, ah indah sekali hidupnya. 

Tanpa sadar, aku meraih teropong di sebelahku. Aku mengambil posisi duduk bersila di atas kursi, dan mulai mengamatinya. Ikut tersenyum bersamanya dan menangis bersamanya.

*

Sudah beberapa hari ini aku, si gadis manis berambut panjang, mengamatinya. Mengobservasi tiap aktivitasnya, melihat tiap gerak- geriknya, memperhatikan tiap senyum dan tangisnya. 

Jangan sebut aku seorang penguntit, karena aku masih waras…





Saturday, June 22, 2013

Terima Kasih, Kampus Biru

aku akan selalu mengingat kenangan ini, kampus.
sisa tiga hari lagi, dan kupikir aku bisa lulus dengan rasa bangga. bangga dengan penelitianku, bangga dengan almamaterku. tiga hari lagi saja, tapi lalu aku harus kecewa.

dan sekarang, pragmatisme.

yang penting aku lulus, dan benar-benar bisa melambaikan tangan ke arahmu, gedung biru.
tak ada lagi rasa bangga yang kuharap terbersit ketika akhirnya tanda tangan itu dibubuhkan,
atau ketika aku naik ke atas panggung itu.

terima kasih, kampus.
terima kasih untuk 4 tahun yang berkesan ini.
tapi terutama,
terima kasih untuk hari ini.

21.6.13

Friday, June 14, 2013

tenggat

Kita semua berlari kesetanan, berusaha menang barang satu langkah saja di depan. Tapi sang tenggat lebih cepat, enggan telat.




Thursday, May 16, 2013

Panggung Kehidupan

Hidup sedang melakukan stand up comedy. Tentang aku.

Awalnya kupikir lucu. Tak apa jika Hidup menjadikanku topik favoritnya. Toh, tampaknya banyak yang menikmatinya. Ah, Hidup memang jago melucu. Tapi, kata Hidup, aku lah yang lucu -- ia hanya meminjam diriku sebagai topik. Aku senang-senang saja. Aku berkontribusi menorehkan senyum dan gelak tawa bagi mereka yang lain. Hidupku sangat penuh. Aku puas. Hidup puas. Mereka semua, para penonton itu, puas.

Tapi, lama-lama, kurasa kemampuan Hidup semakin menurun. Ia tidak lucu lagi. Tawa mereka juga tidak terdengar bahagia lagi untukku. Malah, aku sedih mendengar mereka tertawa. Apakah karena aku sudah jenuh mendengar kisah komedi yang sama sekali tidak baru bagiku? Bagaimana tidak, aku menjalani kisah itu. Akulah kisah itu. Tapi, mereka masih tertawa. Satu lawan seribu, kalau tidak seratus ribu, aku kalah dan menelan opiniku. 

Pengeras suara itu berdenging memekakkan telinga, begitu Hidup menginjak panggung reot itu dan mengetes suaranya. Panggung yang dinamakan atas dirinya, berhubung ia telah menjadi semacam bintang komedi: Panggung Kehidupan. Hidup tersenyum dulu menatap semua yang hadir, selalu begitu. Suasana hening yang familiar terasa selagi Hidup berusaha melakukan koneksi dengan para penikmat komedinya. Beberapa sudah menahan senyum, mungkin tak sabar mendengar kisah apa yang akan diangkat Hidup kali ini. Tak lama, Hidup bercerita. Tentang kegagalan seorang anak manusia dalam mengejar cita dan cintanya. Mereka, tentu saja, tertawa. 

Hidup ikut tertawa. Tak hanya suka bercerita lucu, ia juga suka tertawa. Hidup lalu melanjutkan kisah lain, yang sangat kupahami. Kisah mengenai seorang pria yang terlihat kuat, tapi suka menangis di malam hari. 

Apa-apaan ini. Sudah tidak lucu lagi, hey, Hidup. Apa yang lucu dari seorang pria yang suka menangis diam-diam dan selalu gagal ? Aku tak mau tertawa. Bukan tak mau lagi, tapi tak bisa. Bahkan untuk tersenyum demi menghargai Hidup pun aku sudah malas. 

Tapi semua tertawa, seolah memaksaku untuk ikut tertawa. Terkutuklah Solomon E. Asch dan Teori Konformitasnya, aku pun memaksa diri tersenyum. Tahukah kamu, betapa sakitnya tersenyum ketika kamu tidak merasa ingin melakukannya? Sadarkah kamu, betapa jelek senyuman itu ketika kamu tak lagi bahagia? Hidup melihat senyumku yang jelek, baginya itu sebuah materi komedi. Ia menunjukku, semua menatapku, lalu tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa sampai kata Tertawa itu sendiri kehilangan maknanya.


Sebuah lelucon baru lahir mengenai seorang pria yang sudah gagal, cengeng, jelek pula. 

--

Wednesday, May 15, 2013

Uang

Manusia boleh berencana, bermimpi setinggi menara Babel hingga membuat Tuhan murka. Manusia boleh menggantungkan harapan, menyusun to do list, wish list, bucket list--list apapun yang keterlaluan panjangnya, hingga pada satu titik menjadi kontradiktif dan tidak lagi masuk akal.
Tapi, selalu saja, selalu saja, ada kekuatan lain yang berperan. Kekuatan yang bisa meremas-remas kertas list tersebut dan melemparnya ke keranjang sampah terdekat. "Yippee-kai-yay,"  mungkin ia berdesis, merasa seperti John McClane, sedetik sebelum menuntaskan sebuah misi penting. Misi untuk mematahkan rencana, angan, harapan, apapun itu yang telah dipikirkan mentah maupun matang oleh si manusia.


Bukan, astaga, bukan Tuhan,




uang.