Monday, May 24, 2010

night



It’s funny -and somehow creepy -how night can seem to be my greatest companion.
simply befriended with singing crickets
And the grumpy rambling of the frogs
And men’s greatest work of art –music—keeps playing from this portable piece of metal.

Night,
You come to give inspiration
Really, how can I leave you just now and wake up the next day only to face morning and its heat?
Embrace me in your darkness
Cover me with your coldness

I don’t mind.


3:37 am, ruang tv.
*gambar (lagi lagi) dari mbah google  

stereotype? get your brain educated.

akhir- akhir ini gw lagi berusaha menyelesaikan membaca buku berjudul "Menjaga Kebebasan Pers" --> buku - yang dengan beberapa pertimbangan -gw pinjem dari perpus kampus. salah satunya dalam rangka meng-upgrade otak gw agar bisa tahu lebih banyak hal.
buku ini adalah biografi mengenai Atmakusumah Astraatmadja, yang dikenal sebagai redaktur pelaksana harian Indonesia Raya, harian yang dibredel oleh pemerintah Orde Baru karena kekritisannya dalam meliput berita.
ada satu kalimat yang sangat menarik yang diucapkan Atmakusumah -yang juga tertulis di dalam biografinya. kalimat yang seringkali ia ucapkan pada murid- muridnya di Lembaga Pendidikan Dr. Soetomo (LPDS):

"Tolong jangan sekali- kali mempergunakan alasan- alasan stereotip saat anda menilai orang." 

to me, it's a very very very interesting quotation. 
entah kita sadar atau nggak, sudut pandang stereotip seringkali kita gunakan. bahkan kita sahkan saja. kesimpulan dangkal yang ditarik dari suatu generalisasi yang juga dangkal itu kita anggap sebagai penjelasan paling sempurna.

"dia orang batak, suaranya keras. pasti kasar. memang begitu, kan?"
"dia pelit banget sih. ga heran, dia cina Medan."
"boros- boros nih. tukang mabuk. party animal. tipikal banget orang ambon sama manado."
"dia miskin. pasti suka nyuri."
"makannya banyak sih, makanya gendut lo." 
"dia kaya banget. pasti sombong abis anaknya." 

sadar atau nggak, kalimat- kalimat begitu dekat dengan istilah "rasis".
pernah ngga ya kepikiran bagaimana perasaan orang- orang yang kita nilai sedemikian dangkalnya? apa mereka punya kesempatan untuk menjelaskan bagaimana mereka sebenarnya? 

mungkin aja bisa, tapi susah.

manusia sekarang memilih untuk mempercayai apa yang bisa mereka lihat. actually, bukan hanya manusia sekarang, dari dulu juga sebenarnya begitu. 

sifat alami manusia, seeing is believing.

media massa juga berpengaruh besar terhadap budaya stereotip ini. how so? lebih tepatnya, manusia sekarang lebih mempercayai apa yang disuguhkan media massa di depan hidung mereka. 
apa yang terkadang ngga penting dibuat penting oleh media massa. apa yang ngga bener terkesan bener kalau sudah diungkit oleh media massa. 
gosip, iklan, kampanye- kampanye, berita ini dan itu, dan lain lain.
kalo media mengatakan bahwa artis ini playboy, masyarakat percaya, lalu timbullah stereotip bahwa: semua artis itu playboy. 
media mengatakan bahwa wanita cantik itu adalah wanita berkulit putih, masyarakat percaya. semua berbondong- bondong melawan pigmen dan memutihkan kulit, dan timbullah stereotip bahwa: wanita berkulit hitam itu jelek & tidak bisa merawat diri.
manusia jadi ga punya pikiran lagi. mengikut arus saja, sedangkal genangan air di jalanan yang berlubang.

alhasil, penjelasan stereotip adalah penjelasan yang terbaik. karena buktinya ada. karena memang biasanya begitu. (menguap sudah pemikiran bahwa manusia itu berbeda- beda dan unik. sekarang semua dijadikan sama rata.)
menyedihkan, memang.
gw juga sering menggunakan stereotip saat menilai orang. misalnya, saat melihat cowok dengan:

rambut berdiri- diri dan dicat dengan 'warna matahari', jongkok di pinggir jalan sambil menjepit puntung rokok di jemarinya, kaos luntur dan kumal, celana yang sempit di pergelangan kaki, sandal jepit --> means, dia alay. --> means, dia tukang ngegodain cewek.

betapa malunya gw ketika melewati cowok itu, dan tidak tahunya ia hanya diam, tak ada siulan siulan sumbang keluar dari mulutnya, tidak ada kerlingan godaan terlempar.
gw baru saja menstereotip gaya berpakaiannya & menghubung- hubungkan dengan personalitinya -yang sebenarnya belum tentu begitu, bukan?

idk. ini masalah kebiasaan publik. susah diubah. sudah mendarah daging.

well, here's (probably) the best (idiotic) solution that i can give - at least to my self
sebelum lebih jauh tenggelam dalam generalisasi dangkal a.k.a stereotype ini, mungkin ada baiknya otak gw disekolahin dulu.


Saturday, May 22, 2010

ngga jelas juga apa.


DON'T TOUCH MY NOSE. I'LL SNEEZE ALL DAY LONG.
DON'T  TELL ME TO STOP SINGING. I'LL SING EVEN LOUDER. 
DON'T LET ME GET BORED. I'LL EAT.
and all i want for now is snacks. lots and lots of snacks.

and a credible dvd player --unlike my laptop's.

and a pile of dvds to go along with it.

and my bed. my pillow. my blanket.

and my room.

and lights out.

wohyeaaah.
I AM EXPERIENCING EXTREMEEE BOREDOM.

got nothing to do.

funny, i even looked through my agenda and 'to do lists', hoping to find any assignments and homeworks to be done. found nothing except my photography ass on covering the vesak day celebration. (which btw, am lazy to think about)

aside from that, found nothing.

watched glee season 1 for the third time already. got a little bored. skip only to my favorite scenes.

signed in to facebook. found nothing interesting there.

the same goes to twitter.

opened youtube, but went confuse on what to watch. got out of youtube.

opened people's blog site, felt the urge to open mine and post a new post. 

so, here i am.

writing a pointless post while listening to Adele- Chasing pavements and other songs from my winamp.

zzz
sjkfhdsfeiur
349383275
#$%#$^&*^%

okay. i better not waste anymore time and space and start thinking of another interesting useful stuff to write.

boringboringboring
lazy satnite 22th may '10

Thursday, May 20, 2010

(kenapa) galau (lagi) ?

aku ingin menulis "manis".
tapi yang tertulis malah "pahit".

"cinta"
aku mencoba lagi menggoreskan tinta.
tapi,
"benci"
kenapa itu yang muncul?

lalu aku menulis
"kecewa"
tanpa basa basi, tanpa perlawanan,
tinta itu tergores.
"kecewa".


"maaf laptop, saya lagi galau."

Wednesday, May 12, 2010

Dearest Plato,

“We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when adults are afraid of the dark” 
- Plato-

Kegelapan.
Keadaan dimana tak secercah cahaya pun menerangi.
Obscura.
Dingin.
Ketakutan.

Memang, menurut Plato sungguhlah memalukan jika seorang dewasa merasakan ketakutan pada kegelapan. Tapi menurutku, Plato munafik. Atau mungkin saat itu ia sedang berusaha menyemangati diri sendiri untuk menjadi berani, aku tidak tahu. Tidak berani aku mempertanyakan kepribadian sesosok insan besar yang jenius. 

Yang aku tahu adalah,

Plato yang terhormat, aku orang dewasa penakut yang kau sebut- sebut dalam kata bijaksanamu itu.
Aku, 19 tahun, dan takut. Bukan hanya pada kegelapan, tapi pada banyak hal.

Punya solusi?





nyandu kuaci


Krak.
Jari yang lecet.
Krak.
Mulut yang mengunyah cepat.
Krak.
Sampah mulai bertebaran.

Krak. Krak. Krak.

Saya kecanduan kuaci.

*malam kamis. Kembali ansos di dalam kamar. Sebungkus kuaci pemberian mama tergeletak begitu saja di dalam lemari. Saya mulai membuka bungkusannya, and the rest –as you all probably know—is history…







gambar kuaci diambil dari mbah google. kuaci gw ga mungkin serapih itu*


Si Penggali

Ia ingin berdendang tentang nyanyian tujuh bidadari
ia ingin menuliskan impian sang mentari
ia ingin berceloteh dalam bahasa ceria sang pelangi

Sungguh tak terkata, ia ingin bahagia.

Apa daya, yang bisa ia terima hanyalah nyanyian miris sang penggali kubur,
angan berlebih si tukang mimpi,
dan bahasa palsu si munafik.

Bidadari yang ia nanti tak kunjung berkunjung
ketukan di pintu hati tak pernah ia dengar
mentari pun tak menepati janjinya untuk bertandang dan berdendang bersama
selamanya ia gelap gulita menanti terang sang sahabat.

Bahasa pelangi terlalu tinggi adanya, otak berkaratnya tak bisa memahami sepatah katapun yang pelangi bisikkan.
apa itu merahjinggakuninghijaubirunilaungu?
mejikuhibiniu?

tidak, ia tak mengerti.
yang ia pahami hanya hitam dan abu- abu,
melebur dalam saratnya debu di relung hati terdalamnya,
sebuah ruang kotor yang mendamba kibasan sapu di setiap ujungnya

Ia menggali kubur sambil bermimpi tentang kemunafikan dunia yang nyata.
berharap bisa mendorong tiap cerca, cela, tatap hina, dari tepian tanah menuju kubur gelap yang ia gali dengan jerih payah, keringat, dan darah.

tapi ia tahu,
bidadar, pelangi, dan mentari belum tentu akan melejit datang hanya jika sepetak kubur telah ia penuhi dan kidung duka telah ia senandungkan.

Karenanya ia terus menggali.