Thursday, May 16, 2013

Panggung Kehidupan

Hidup sedang melakukan stand up comedy. Tentang aku.

Awalnya kupikir lucu. Tak apa jika Hidup menjadikanku topik favoritnya. Toh, tampaknya banyak yang menikmatinya. Ah, Hidup memang jago melucu. Tapi, kata Hidup, aku lah yang lucu -- ia hanya meminjam diriku sebagai topik. Aku senang-senang saja. Aku berkontribusi menorehkan senyum dan gelak tawa bagi mereka yang lain. Hidupku sangat penuh. Aku puas. Hidup puas. Mereka semua, para penonton itu, puas.

Tapi, lama-lama, kurasa kemampuan Hidup semakin menurun. Ia tidak lucu lagi. Tawa mereka juga tidak terdengar bahagia lagi untukku. Malah, aku sedih mendengar mereka tertawa. Apakah karena aku sudah jenuh mendengar kisah komedi yang sama sekali tidak baru bagiku? Bagaimana tidak, aku menjalani kisah itu. Akulah kisah itu. Tapi, mereka masih tertawa. Satu lawan seribu, kalau tidak seratus ribu, aku kalah dan menelan opiniku. 

Pengeras suara itu berdenging memekakkan telinga, begitu Hidup menginjak panggung reot itu dan mengetes suaranya. Panggung yang dinamakan atas dirinya, berhubung ia telah menjadi semacam bintang komedi: Panggung Kehidupan. Hidup tersenyum dulu menatap semua yang hadir, selalu begitu. Suasana hening yang familiar terasa selagi Hidup berusaha melakukan koneksi dengan para penikmat komedinya. Beberapa sudah menahan senyum, mungkin tak sabar mendengar kisah apa yang akan diangkat Hidup kali ini. Tak lama, Hidup bercerita. Tentang kegagalan seorang anak manusia dalam mengejar cita dan cintanya. Mereka, tentu saja, tertawa. 

Hidup ikut tertawa. Tak hanya suka bercerita lucu, ia juga suka tertawa. Hidup lalu melanjutkan kisah lain, yang sangat kupahami. Kisah mengenai seorang pria yang terlihat kuat, tapi suka menangis di malam hari. 

Apa-apaan ini. Sudah tidak lucu lagi, hey, Hidup. Apa yang lucu dari seorang pria yang suka menangis diam-diam dan selalu gagal ? Aku tak mau tertawa. Bukan tak mau lagi, tapi tak bisa. Bahkan untuk tersenyum demi menghargai Hidup pun aku sudah malas. 

Tapi semua tertawa, seolah memaksaku untuk ikut tertawa. Terkutuklah Solomon E. Asch dan Teori Konformitasnya, aku pun memaksa diri tersenyum. Tahukah kamu, betapa sakitnya tersenyum ketika kamu tidak merasa ingin melakukannya? Sadarkah kamu, betapa jelek senyuman itu ketika kamu tak lagi bahagia? Hidup melihat senyumku yang jelek, baginya itu sebuah materi komedi. Ia menunjukku, semua menatapku, lalu tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa sampai kata Tertawa itu sendiri kehilangan maknanya.


Sebuah lelucon baru lahir mengenai seorang pria yang sudah gagal, cengeng, jelek pula. 

--

No comments:

Post a Comment