Wednesday, October 20, 2010

acuhkan.

Terkadang, ketika harga diri sudah tak bisa lagi dipertaruhkan, kita hanya bisa diam.
Hilang akal,
Tersesat dalam pemahaman sendiri akan sesuatu yang abstrak.
Ketika itu, sedikit berharap kita mencoba mengatur Sang Waktu,
Berharap ia sedang lengah dengan segala batasannya,
Sehingga kita bisa menyelip masuk dan memutar setirnya, menjauh dari masa kini, menjauh hingga menjejakkan kaki di suatu waktu dulu.
Waktu dimana kita belum sadar akan ego dan ambisi kita, serta masih bertindak dengan hati nurani.
Masih polos. Lugu. Naïf.
Peduli setan jika tiga kata di atas dekat dengan pengertian kata ‘Bodoh’, yang jelas hidup terasa lebih less complicated saat itu.
Senyum yang ditampilkan belum mengandung konspirasi, ataupun kemunafikan yang tersirat.
Kata yang diutarakan murni menjawab. Tulus dengan maksud dan pesan yang ada. Tidak ada kebohongan di baliknya. Tidak ada pula kepentingan yang melampaui makna.
Bodoh.
Sekarang? Kita kira sudah maju. Sudah dewasa. Hah. Dewasa. Terus saja bermain kata, mengaku sudah matang. Mengaku dewasa.
Buktikan kedewasaanmu. Itu mungkin yang diteriakkan para sesepuh itu. Geli mereka melihat diri kita yang labil ini bertingkah.
Kita menuduh mereka kolot, menuduh mereka hidup di masa lalu. Kita memberontak, berusaha meluruskan pikiran mereka yang menurut kita terlalu lurus.
Padahal yang salah selama ini adalah pikiran kita yang terlalu belok. Emosi kita yang berapi- api tanpa bisa ditahan.
Padahal mereka benar, para tua- tua itu.
Kita boleh bergerak, maju, tapi apa memangnya yang mau kita capai? Citra? Keadilan?
Citra bukan hanya masalah kita. Tetapi juga masalah tua- tua itu. Untuk hal yang itu kita setara. Untuk hal yang itu, bolehlah kita maju dan mengacungkan jari kita ke hadapan wajah mereka sambil tertawa mengejek.
Atau keadilan, menurut kita. Ah, alasan klise yang menunjukkan kepolosan kita, bahkan sebenarnya melucuti harapan terdalam kita. Jujur saja, di jaman apa kita hidup? Ketahuilah bahwa konsep adil hanya sebuah idealisme tak nyata. Sejak dulu juga begitu.
Patutkah kita mengumbar banyak harapan meski sebenarnya tahu bahwa itu sia- sia?
Bukankah kita malah mempertaruhkan ego? Nasib? Nyawa?
Tak ada yang bisa kita ubah. Kecuali kita Tuhan, ataupun sesepuh tua yang di sana, yang memegang kendali akan kehidupan.
Pada tahap ini, semua kembali lagi ke awal. Berharap Sang Waktu sedang lengah, sehingga kita bisa memutar arah dan mengatur alur nasib kita ke depan.
Mungkin kita bahkan akan menciptakan diri menjadi tumbuhan saja, karena menjadi manusia terlalu membingungkan. Karena menjadi manusia malah kerap disamakan dengan binatang.
Ya, andaikan saja Sang Waktu lengah. Betapa mudahnya.

(dayung raya 11a)
(tengah malam),
(mood jelek),
(berputar- putar),
(sesungguhnya cuma gatal ingin mengetik),



(acuhkan).

No comments:

Post a Comment