Monday, April 2, 2012

Apresiasi Jati Diri Bangsa


            What makes us Indonesians?

Dalam esainya yang berjudul Puisi Besar, Sutardji Calzoum Bachri menulis dengan menarik mengenai bagaimana puisi yang besar sesungguhnya mampu memberikan inspirasi dan hikmah bagi masyarakat dan bangsa. Ia menyebut contoh salah satu puisi besar yang pernah tercipta dalam perjalanan sejarah Indonesia. Puisi yang seharusnya ditulis dengan tambahan tanda kutip, karena statusnya yang tidak pernah dipandang sebagai puisi. ‘Puisi’ apa itu?

Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Kendati tidak pernah dianggap secara pasti sebagai sebuah karya literatur maupun puisi, Sutardji mengajak pembaca untuk melihat teks Sumpah Pemuda sebagai sebuah puisi yang ternyata mampu memenuhi kriteria teks puisi masa kini. Layaknya puisi pada umumnya, teks Sumpah Pemuda menciptakan sebuah imajinasi. Dunia yang masih berada dalam angan, bahwa pada saat itu, putra-putri Indonesia berbangsa satu, ber-tanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia merupakan in absentia, masih belum hadir dalam realitas masyarakat saat itu. Dan teks ini, sebuah karya literatur sederhana ini, berhasil menyulut semangat persatuan para muda-mudi akan sebuah konsep yang masih belum hadir. ‘Puisi’ Sumpah Pemuda menjadi titik tolak gejolak perjuangan kemerdekaan di Indonesia.

Sebuah puisi hanya merupakan salah satu dari begitu banyaknya ragam kesenian dan kebudayaan dari sebuah bangsa. Kebudayaan itu memiliki makna yang begitu besar bagi sebuah bangsa. Berbeda dari syarat terbentuknya negara yang meliputi wilayah, pemerintahan, hingga pengakuan—kepribadian sebuah bangsa terbentuk dari nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat. Nilai-nilai yang kemudian berkembang menjadi kebiasaan dan menjadi kebudayaan.

Sayangnya, seiring waktu dan tren yang berlalu, semakin sedikit masyarakat yang mau mengapresiasi kebudayaan lokal. Dan media, dalam hal ini, sangat berperan besar. Media membentuk kebudayaan artifisial, mengadaptasinya dari kebudayaan lain, mempublikasikannya secara luas dan mencekokinya pada masyarakat.

Lepas dari pertikaian yang tak sudah-sudah dengan negara tetangga, seni sastra Indonesia merupakan sesuatu yang wajib dikonsumsi para pelajar di Malaysia. Sebut saja karya-karya Pramoedya Ananta Toer, puisi-puisi Chairil Anwar. Apa yang di sini hanya pernah kita dengar atau selewat kita baca, di sana diapresiasi dan bahkan dijadikan bahan diskusi pelajaran yang wajib. Tak heran bahwa ketika situasi mengancam, muncul lah apa yang disebut sebagai nasionalisme semu. Kecintaan semu pada budaya lokal. Memakai baju batik menjadi usaha pembuktian diri pada dunia, bahwa setelah pergulatan dengan Malaysia, batik adalah kebudayaan Indonesia.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan membela kebudayaan kita. Hanya satu yang disayangkan, bagaimana kita baru dapat cepat bereaksi ketika gengsi bangsa mulai dipertaruhkan. Di lain waktu? Silahkan jawab sendiri, saya pun masih bergumul.

Mengapresiasi kebudayaan asli Indonesia bukan hanya sekedar ekspresi cinta kita terhadap budaya bangsa. Layaknya teks Sumpah Pemuda yang mengawali kesadaran bangsa akan persatuan, kebudayaan lokal merupakan cerminan diri kita, jati diri kita sebagai sebuah bangsa, apa yang membentuk kepribadian bangsa kita. Mengapresiasi kebudayaan bangsa sendiri berarti mengapresiasi hakikat diri kita secara individual pula. Jangan biarkan jati diri kita menghilang, jangan biarkan kebudayaan kita menghilang.


yah lumayan. dimuat di majalah kampus. portofolio, portofolio! :p

No comments:

Post a Comment