Monday, August 30, 2010

tukang ojekpun tahu

Malam yang dingin dan angin yang bertiup sepoi-sepoi,
perjalanan limabelasmenit setelah seratusduapuluhmenit yang kuhabiskan di depan sebuah benda portabel berbahan metal itu.
seratusduapuluhmenit yang kulewati dengan hati yang, tak bsa kupungkiri, panas.
seratusduapuluhmenit dimana wajah kasihan itu terpampang di depan mata,
sumpah serapahnya pun mau tak mau terbaca olehku yang tak buta aksara ini.
ya, mataku panas.
ya, hatiku panas.
tapi apa daya, aku ingat sebuah kalimat sederhana yang telah kudengar sejak kecil dulu,
"Kasihilah  musuh-musuhmu."
hanya bisa menelan ludah, aku menggerakkan jari dan menutup layar itu,
layar yang penuh makian dan hinaan
layar dimana pose dirinya tertera, pose yang mungkin menurutnya keren
senyum yang mungkin menurutnya mempesona.

kembali ke yang limabelasmenit
limabelasmenit yang dingin di atas jalanan aspal yang berlubang di sana sini
seorang tukang ojek sebagai teman bertukar cerita
dan motor bebek tua sebagai media pendukung cerita.

"Saya ndak ngerti. apa salahnya hidup damai?" begitu ucapnya, aku masih ingat.
"Toh ndak ada satu dari kita yang benar- benar benar, ya toh?" ucapnya dengan nada santai. ia berusaha menghindari bebatuan dan lubang- lubang yang terhampar di depan, berusaha menjaga agar aku tidak mengaduh.
aku mengangguk, walau ia tak bisa melihatku.
"Jalanan kenapa jelek sekali ya?" ia mengeluh sedikit, mungkin capai menghindar ke kanan dan kiri.
"Kalo saya sih cik, lebih suka menghormati satu sama lain. ya kayak ginilah, cik agamanya Keristen, saya Muslim, tapi toh kita bisa ngobrol tanpa saling menghina. mau Yesus, mau Muhammad, sama saja lah..."
saya kembali mengangguk, lalu menambahkan, "Yah, andai saja semua orang berpikir kayak om.."
ia tertawa. sebuah lubang di depan berhasil ia hindari.
"Menurut saya itu sih bodoh namanya, cik. bikin capek diri sendiri."
dan ia tertawa lagi, kali ini bukan karena lubang, tapi karena mengapresiasi perkataannya sendiri.
"saya aja tahu loh, kenapa mereka ndak ya?" ia menambahkan.

aku mengangguk kembali dan tersenyum.
walau ia pasti tak melihatku, dan mungkin bertanya-tanya apa aku tersinggung sehingga diam saja. topik perbincangan malam ini cukup sensitif ternyata.
tapi tidak, aku tidak tersinggung.
aku hanya kagum akan sebuah nalar yang sederhana dan logis.

benar, ia saja tahu loh.
tukang ojek saja tahu.

kenapa kalian tidak?

No comments:

Post a Comment