Kita semua berlari kesetanan, berusaha menang barang satu langkah saja di depan. Tapi sang tenggat lebih cepat, enggan telat.
Friday, June 14, 2013
Thursday, May 16, 2013
Panggung Kehidupan
Hidup sedang melakukan stand up comedy. Tentang aku.
Awalnya kupikir lucu. Tak apa jika Hidup menjadikanku topik favoritnya. Toh, tampaknya banyak yang menikmatinya. Ah, Hidup memang jago melucu. Tapi, kata Hidup, aku lah yang lucu -- ia hanya meminjam diriku sebagai topik. Aku senang-senang saja. Aku berkontribusi menorehkan senyum dan gelak tawa bagi mereka yang lain. Hidupku sangat penuh. Aku puas. Hidup puas. Mereka semua, para penonton itu, puas.
Tapi, lama-lama, kurasa kemampuan Hidup semakin menurun. Ia tidak lucu lagi. Tawa mereka juga tidak terdengar bahagia lagi untukku. Malah, aku sedih mendengar mereka tertawa. Apakah karena aku sudah jenuh mendengar kisah komedi yang sama sekali tidak baru bagiku? Bagaimana tidak, aku menjalani kisah itu. Akulah kisah itu. Tapi, mereka masih tertawa. Satu lawan seribu, kalau tidak seratus ribu, aku kalah dan menelan opiniku.
Pengeras suara itu berdenging memekakkan telinga, begitu Hidup menginjak panggung reot itu dan mengetes suaranya. Panggung yang dinamakan atas dirinya, berhubung ia telah menjadi semacam bintang komedi: Panggung Kehidupan. Hidup tersenyum dulu menatap semua yang hadir, selalu begitu. Suasana hening yang familiar terasa selagi Hidup berusaha melakukan koneksi dengan para penikmat komedinya. Beberapa sudah menahan senyum, mungkin tak sabar mendengar kisah apa yang akan diangkat Hidup kali ini. Tak lama, Hidup bercerita. Tentang kegagalan seorang anak manusia dalam mengejar cita dan cintanya. Mereka, tentu saja, tertawa.
Pengeras suara itu berdenging memekakkan telinga, begitu Hidup menginjak panggung reot itu dan mengetes suaranya. Panggung yang dinamakan atas dirinya, berhubung ia telah menjadi semacam bintang komedi: Panggung Kehidupan. Hidup tersenyum dulu menatap semua yang hadir, selalu begitu. Suasana hening yang familiar terasa selagi Hidup berusaha melakukan koneksi dengan para penikmat komedinya. Beberapa sudah menahan senyum, mungkin tak sabar mendengar kisah apa yang akan diangkat Hidup kali ini. Tak lama, Hidup bercerita. Tentang kegagalan seorang anak manusia dalam mengejar cita dan cintanya. Mereka, tentu saja, tertawa.
Hidup ikut tertawa. Tak hanya suka bercerita lucu, ia juga suka tertawa. Hidup lalu melanjutkan kisah lain, yang sangat kupahami. Kisah mengenai seorang pria yang terlihat kuat, tapi suka menangis di malam hari.
Apa-apaan ini. Sudah tidak lucu lagi, hey, Hidup. Apa yang lucu dari seorang pria yang suka menangis diam-diam dan selalu gagal ? Aku tak mau tertawa. Bukan tak mau lagi, tapi tak bisa. Bahkan untuk tersenyum demi menghargai Hidup pun aku sudah malas.
Tapi semua tertawa, seolah memaksaku untuk ikut tertawa. Terkutuklah Solomon E. Asch dan Teori Konformitasnya, aku pun memaksa diri tersenyum. Tahukah kamu, betapa sakitnya tersenyum ketika kamu tidak merasa ingin melakukannya? Sadarkah kamu, betapa jelek senyuman itu ketika kamu tak lagi bahagia? Hidup melihat senyumku yang jelek, baginya itu sebuah materi komedi. Ia menunjukku, semua menatapku, lalu tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa sampai kata Tertawa itu sendiri kehilangan maknanya.
Sebuah lelucon baru lahir mengenai seorang pria yang sudah gagal, cengeng, jelek pula.
Apa-apaan ini. Sudah tidak lucu lagi, hey, Hidup. Apa yang lucu dari seorang pria yang suka menangis diam-diam dan selalu gagal ? Aku tak mau tertawa. Bukan tak mau lagi, tapi tak bisa. Bahkan untuk tersenyum demi menghargai Hidup pun aku sudah malas.
Tapi semua tertawa, seolah memaksaku untuk ikut tertawa. Terkutuklah Solomon E. Asch dan Teori Konformitasnya, aku pun memaksa diri tersenyum. Tahukah kamu, betapa sakitnya tersenyum ketika kamu tidak merasa ingin melakukannya? Sadarkah kamu, betapa jelek senyuman itu ketika kamu tak lagi bahagia? Hidup melihat senyumku yang jelek, baginya itu sebuah materi komedi. Ia menunjukku, semua menatapku, lalu tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa. Tertawa sampai kata Tertawa itu sendiri kehilangan maknanya.
Sebuah lelucon baru lahir mengenai seorang pria yang sudah gagal, cengeng, jelek pula.
--
Wednesday, May 15, 2013
Uang
Manusia boleh berencana, bermimpi setinggi menara Babel hingga membuat Tuhan murka. Manusia boleh menggantungkan harapan, menyusun to do list, wish list, bucket list--list apapun yang keterlaluan panjangnya, hingga pada satu titik menjadi kontradiktif dan tidak lagi masuk akal.
Tapi, selalu saja, selalu saja, ada kekuatan lain yang berperan. Kekuatan yang bisa meremas-remas kertas list tersebut dan melemparnya ke keranjang sampah terdekat. "Yippee-kai-yay," mungkin ia berdesis, merasa seperti John McClane, sedetik sebelum menuntaskan sebuah misi penting. Misi untuk mematahkan rencana, angan, harapan, apapun itu yang telah dipikirkan mentah maupun matang oleh si manusia.
Bukan, astaga, bukan Tuhan,
uang.
Tapi, selalu saja, selalu saja, ada kekuatan lain yang berperan. Kekuatan yang bisa meremas-remas kertas list tersebut dan melemparnya ke keranjang sampah terdekat. "Yippee-kai-yay," mungkin ia berdesis, merasa seperti John McClane, sedetik sebelum menuntaskan sebuah misi penting. Misi untuk mematahkan rencana, angan, harapan, apapun itu yang telah dipikirkan mentah maupun matang oleh si manusia.
Bukan, astaga, bukan Tuhan,
uang.
Thursday, May 9, 2013
Satu tahun
Dua bulan adalah waktu yang terlampau
singkat untuk menentukan cocok tidaknya saya dengan profesi ini. Dua bulan menghasilkan prasangka dan penilaian yang keterlaluan mentah akan sesuatu yang memang sengaja tidak saya perlihatkan sepenuhnya.
Satu
tahun adalah waktu yang cukup, saya pikir, untuk berkontemplasi dan memproyeksikan masa depan saya. Satu tahun cukup lama, menurut saya, untuk
belajar lebih banyak dan mengubah mental saya yang terjajah. Karena, saya
akui, saya sebenarnya gelisah. Saya sebenarnya peduli. Tapi saya yang sekarang masih malu. Rasa malu yang merupakan
sisa-sisa kepribadian asli saya yang introvert, yang ketika kecil sulit mencari teman. Saya perlu pecutan, saya rasa. Karena kegelisahan itu ada, mengusik, tapi ditahan kepribadian saya yang masih tertutup dan terkadang ragu seperti Thomas, murid Yesus itu.
Satu tahun. Satu tahun untuk membuang rasa malu itu. Satu
tahun untuk membunuh mental terjajah itu. Satu tahun deadline kamu. Sampai ketemu
lagi dengan kamu yang baru, satu tahun lagi.
Sunday, April 28, 2013
Aku mau jadi Akira Kurosawa
Semalam aku bermimpi sampai empat babak. Empat kisah dalam satu kali tidur. Umumnya, pada hari-hari normal, mimpiku hanya satu sampai dua kisah. Tapi kemarin aku terlalu lelah, mungkin. Ada pengaruh paracetamol yang menyebabkan kantuk juga, pastinya. Intinya aku tertidur sampai belasan jam. Aku lupa menghitung berapa jam sebenarnya aku tertidur, dan sekarang pun aku lelah dan malas mengingat-ingat dan menghitungnya.
Aku menyesal tidak menyimpan catatan mengenai mimpi-mimpiku. Terutama karena terkadang aku merasa mimpi-mimpiku suka luar biasa, kalau difilmkan, bisa jadi percampuran genre science fiction, horror, thriller, rom-com, action. Siapa tahu, di kemudian hari, aku bisa seperti Akira Kurosawa, menulis naskah film berdasarkan mimpi-mimpiku.
Malam ini, sebelum tidur, aku menenggak empat gelas air putih sampai kembung. Harapanku, aku bisa terbangun di malam hari untuk ke toilet. Dari jurnal sains yang aku temukan di internet, orang yang sering terbangun di malam hari, lebih mudah mengingat mimpinya.
Aku bercerita ke temanku tentang keinginanku mengingat mimpi. Aku bertanya, apa dia pernah seperti itu. Dia tertawa, menjawab tidak, lalu menuduhku ingin lari dari kenyataan. Kau memang suka aneh, demikian ujarnya. Terkadang aku bingung, apa aku yang aneh, atau aku hanya belum menemukan teman yang sepemikiran saja.
Aku menjawab, tidak begitu. Mimpi-mimpiku tidak semuanya indah. Suatu hari aku bermimpi tentang neraka. Kau pikir aku mau terus mengingat-ingat neraka karena aku ingin lari ke neraka? Aku hanya merasa mimpi-mimpiku bisa jadi inspirasi kisah yang seru kalau saja aku bisa mengingatnya. Suatu novel, atau kompilasi antalogi cerita pendek yang absurd. Dia hanya mengangkat alis dan manggut-manggut. Entah apa maksudnya.
Malam ini, aku tidak bisa tidur. Seperti anak bocah yang begadang semalaman, terlalu semangat karena esok harinya mau pergi bertamasya ke pantai, aku terlalu menantikan mimpi, yang tidak kunjung datang. Malam ini, alih-alih bermimpi, aku ada di depan laptop, menulis tentang mimpi. Mimpi-mimpi yang tidak bisa kuingat, mimpi-mimpi yang tidak kumiliki.
Malam ini, sebelum tidur, aku menenggak empat gelas air putih sampai kembung. Harapanku, aku bisa terbangun di malam hari untuk ke toilet. Dari jurnal sains yang aku temukan di internet, orang yang sering terbangun di malam hari, lebih mudah mengingat mimpinya.
Aku bercerita ke temanku tentang keinginanku mengingat mimpi. Aku bertanya, apa dia pernah seperti itu. Dia tertawa, menjawab tidak, lalu menuduhku ingin lari dari kenyataan. Kau memang suka aneh, demikian ujarnya. Terkadang aku bingung, apa aku yang aneh, atau aku hanya belum menemukan teman yang sepemikiran saja.
Aku menjawab, tidak begitu. Mimpi-mimpiku tidak semuanya indah. Suatu hari aku bermimpi tentang neraka. Kau pikir aku mau terus mengingat-ingat neraka karena aku ingin lari ke neraka? Aku hanya merasa mimpi-mimpiku bisa jadi inspirasi kisah yang seru kalau saja aku bisa mengingatnya. Suatu novel, atau kompilasi antalogi cerita pendek yang absurd. Dia hanya mengangkat alis dan manggut-manggut. Entah apa maksudnya.
Malam ini, aku tidak bisa tidur. Seperti anak bocah yang begadang semalaman, terlalu semangat karena esok harinya mau pergi bertamasya ke pantai, aku terlalu menantikan mimpi, yang tidak kunjung datang. Malam ini, alih-alih bermimpi, aku ada di depan laptop, menulis tentang mimpi. Mimpi-mimpi yang tidak bisa kuingat, mimpi-mimpi yang tidak kumiliki.
Sunday, October 28, 2012
Oh, Technology
it's that feeling you have when a person you love confided his/her problems and worries to you, but you totally run out of words to calm him/her down. not even hug emoticons are enough to represent your point, that you may not be able to provide solutions, but all you can offer is a mere hug.
ever having a hard time to send a text for a person in grief? ever having the urge to hug them instantly, but all you can give is a smiley hug? literally -- a smiley hug with smile on it. ever trying to make your point clear by sending long sentences in one text, only to know that there are some errors in the sending so all you send is a "some-text-missing" text?
Oh, technology. it helps you communicate -- but it comes with certain borders and limitations.
ever having a hard time to send a text for a person in grief? ever having the urge to hug them instantly, but all you can give is a smiley hug? literally -- a smiley hug with smile on it. ever trying to make your point clear by sending long sentences in one text, only to know that there are some errors in the sending so all you send is a "some-text-missing" text?
Oh, technology. it helps you communicate -- but it comes with certain borders and limitations.
Sunday, October 21, 2012
jatuh dalam dosa distraksi
ini saat-saat tepat untuk mengutuki diri sendiri, sebenarnya. ketika seharusnya mata saya menatap halaman demi halaman itu,ketika seharusnya tangan saya meraih tumpukan buku itu dan membalik-balik halamannya, berusaha menjejalkan kontennya sebanyak mungkin ke dalam kepala. iya. ketika seharusnya saya tidak di sini, menulis karena alasan sederhana saja: udah lama gak nulis kayak gini.
malam-malam seperti ini memang paling tepat buat tiba-tiba kehilangan fokus. padahal tadi sudah sangat tekun membaca dan mengetik, mengetik lalu membaca, tapi tiba-tiba teringat si adik yang lagi sendirian di rumah dan belum saya kontak seharian. mau mencoba sms tapi ternyata pulsa habis. akhirnya mau tidak mau buka tab chrome. terdiam sebentar, berpikir antara dua pilihan, bertanya kabar lewat twitter atau facebook. akhirnya diputuskan facebook, karena twitter lebih potensial mendorong naluri alamiah saya sebagai manusia: kepo. akhirnya saya mengirim pesan ke inbox facebook si adik. bertanya kabar, meminta maaf tidak menanyakan kabar sejak pagi tadi, meminta maaf tidak mengangkat teleponnya tadi pagi karena saya masih tertidur pulas, dan bertanya kabar lagi.
saya sudah punya perasaan kalau saya pasti akan nyasar dan tidak kembali lagi ke proses membaca-mengetik yang tadi saya lakukan dengan sangat tekunnya. ternyata benar, saya malah kepo. ada teman yang baru berganti profile picture, ada teman yang baru putus, ada juga yang baru jadian. ada teman yang mengirim game request (yang entah sudah untuk keberapa kalinya hari ini). setengah jam saya habiskan dengan dorongan rasa penasaran.
pada akhirnya saya malah terdampar di tempat yang sejak awal sudah saya berusaha jauhi: twitter. tempat terlarang yang layaknya buah terlarang, memiliki konsekuensi tertentu jika didekati. dan benar, pada akhirnya ada setengah jam lagi yang saya habiskan untuk membalas-balas mention dan membaca ocehan orang lain. layaknya buah terlarang, ketika saya kembali ke kegiatan membaca-mengetik saya tadi, saya diusir. enyah, keluar. begitu katanya. saya pun tidak bisa lagi membaca dan mengetik selancar dan setekun tadi. halaman-halaman itu mengusir saya.
badan mulai pegal karena duduk tepat di bawah hawa dingin AC, akhirnya saya merenggangkan badan, menguap sebentar, sendawa dan memaki kondisi. tiba-tiba terdengar suara aneh dari luar kamar dan tas yang saya taruh di atas koper tiba-tiba terjatuh. bisa saja karena angin AC. bisa saja karena posisinya dari awal tidak mendukung. tapi kesunyian, suara aneh, tas yang terjatuh tadi memperkuat keyakinan saya bahwa manusia tidak hidup sendiri dan ada dimensi lain di luar sana. akhirnya saya terdorong untuk membuka winamp, memutar koleksi lagu-lagu yang sejujurnya sudah lama tidak saya update. playlist yang itu lagi, yang itu lagi. tidak apa-apa, selama saya terdistraksi dari kesunyian dan suara-suara aneh. tapi satu hal terselip dari kesadaran saya, bahwa usaha saya mendistraksi diri dari rasa takut ternyata berakhir menjadi distraksi lain. saya jadi semakin diusir jauh dari halaman-halaman itu, karena tiba-tiba saya lebih tertarik untuk bernyanyi dengan pelan mengikuti alunan lagu yang dengan kencang menembus telinga saya.
saya sadar, tidak ada salahnya istirahat sejenak. toh saya sudah diusir dan kehilangan fokus saya. saya tiba-tiba teringat tempat ini. sudah lama sekali saya tidak berkunjung, saya tadi bahkan hampir lupa alamatnya. theodoraagnes atau theodora.agnes. dengan titik atau tanpa. tapi saya berhasil ingat, dan di sinilah saya sekarang. memang mengetik dan membaca lagi, tapi bukan halaman-halaman tadi yang mengusir saya begitu saya tergoda dan jatuh dalam dosa distraksi. halaman ini cuma satu, ia menerima saya dengan lapang, semacam rindu. begitu pula saya.
---
Subscribe to:
Posts (Atom)