Sunday, February 20, 2011

MAINSTREAM II

hati kecil itu berkata, "hari sudah malam. lekaslah tidur."
mulut besar itu berteriak, "umur sudah tua. lekaslah menikah."
tangan kurus itu menutup mulut besar yang tertawa keras,
ternyata kalimat tadi sebuah lelucon.

mulut besar itu kembali menimpali, "tigapuluh tahun Desember ini. bergeraklah, lekas."
hati kecil itu berkata, "sudahlah. itu bukan hal penting."
tangan kurus itu mengguncang bahu, "kau akan malu sendiri nanti."
memaksa.

mulut besar itu seketika mengecil, "ah, tapi bukan hakku. toh ini hidupmu."
hati kecil itu tersenyum, "akhirnya. kau sadar juga."

tangan kurus itu menepuk dahi, "ah! sudah jam segini. maaf, saya harus segera pergi."
sebuah mulut lain menimpali dengan cepat, "kenapa?"
mulut besar itu tersenyum senang, "biasa."
mulut lain tertawa.
tapi hati kecil itu bertanya, "maksudnya?"
mulut-mulut itu tertawa. menertawakannya. "kau tak akan mengerti."
"oh cepatlah. saya penasaran." ucap si hati kecil, kesal karena merasa ketinggalan.

"kau akan mengerti ketika waktunya tiba. jangan sok tahu. jangan mau tahu. kau saja tidak mau bergerak. tigapuluh tahun, edan. sadarlah." tukas seorang teman lama, akal logika. ia selalu benar.

hati kecil itu terdiam terpaku,
mulut-mulut itu satu-persatu pergi, semua beranjak melakukan 'pekerjaan' yang mereka semua mengerti --tapi tidak dimengerti oleh si hati kecil.
konon karena ia terlalu malas bergerak.
dan mungkin tidak peka.

tigapuluh tahun, edan.


*ketika jatuh cinta menjadi prioritas dan status marital menjadi penentu kualitas

No comments:

Post a Comment