"avoiding the mistakes of a wasted life".
saya sedang duduk di meja belajar saya, menatap tempelan-tempelan kertas, foto, post-it di dinding di depan saya, ketika saya melihat sebaris kalimat itu. saya lupa kalimat itu saya dapat dari mana. tampaknya saya gunting secara asal dari sumbernya dan saya tempel begitu saja di dinding. ukurannya kecil saja.
avoiding the mistakes of a wasted life.
ada kemungkinan tulisan ini saya dapatkan dari majalah rohani. kalau dipikir-pikir memang masuk akal. itu kalimat yang biasanya akan ditemukan di majalah rohani. a wasted life is a life without Jesus. oh i can picture it clearly, a preacher preaching the very same words. in order to avoid that wasted life, you should go to Jesus. i can even picture my dad preaching that very same words.
anyway, lepas dari kenyataan bahwa saya lupa darimana asal kalimat tersebut dan kemana kalimat itu akan berlanjut, saya jadi mikir. yang maksudnya wasted life itu seperti apa?
saya ingat, saya pernah berbincang-bincang dengan teman saya tentang masa depan. berhubung sekarang saya sudah mahasiswa semester enam, sudah seharusnya saya berhenti menganggap diri anak remaja yang patut bersantai-santai. maka, pembicaraan mengenai masa depan bersama teman-teman saya menjadi topik yang cukup hangat akhir-akhir ini. waktu itu, saya dan teman saya, nana, sedang berandai-andai. apa target kami untuk masa depan, mimpi-mimpi apa saja yang ada dalam 'bucket list' kita, apakah kami akan menikah suatu hari nanti ataukah kami akan menjadi sama seperti sebagian besar jurnalis wanita di luar sana? ketika membicarakan mengenai mimpi-mimpi, kami yakin kami akan lama menikah. bagaimana mau mengejar mimpi kalau sudah menikah?
kami tidak yakin ingin menikah cepat-cepat. terlalu banyak impian, terlalu banyak tempat yang mau dikunjungi, orang yang mau dikenal, pengalaman yang mau dirasai. menikah tampaknya hanya akan menjadi kendala, penghalang. percakapan saya dan nana berakhir begitu saja, kami memilih membicarakan hal lain yang lebih ringan.
malam ini, ketika melihat penggalan kalimat 'avoiding the mistakes of a wasted life' di dinding kamar, saya jadi berpikir. wasted life itu yang seperti apa sebenarnya? patokan tolok ukurnya apa, sehingga seseorang bisa mengklaim hidupnya, atau hidup orang lain, terbuang sia-sia. terdengar sangat menghakimi.
apakah menikah berarti membuang sia-sia hidupmu? saya punya teman, dania, yang cita-citanya jelas sejak ditanyakan di semester satu: mau jadi ibu rumah tangga. dulu, waktu saya mendengar itu, saya sempat mengernyit. kalau mau jadi ibu rumah tangga, kenapa pilih kuliah komunikasi? bukannya seorang ibu rumah tangga tidak perlu bersekolah tinggi, tentu saja perlu, tetapi saya penasaran -- kenapa harus kuliah komunikasi?
saya lalu berpikir hal lain, kenapa dania mau jadi ibu rumah tangga? apa serunya? betapa bosan hidup seperti itu? saya terbiasa dibesarkan oleh seorang ibu yang bukan ibu rumah tangga sepenuhnya. mama wanita karier (lucu juga menyebut seorang ibu pendeta wanita karier), guru, kepala sekolah, dan penginjil. hidupnya sibuk, tapi mama tidak pernah melupakan kami anak-anaknya dan suaminya. dan saya pikir, hidup mama seru. dia bertemu banyak orang, dihargai dan diandalkan banyak orang, meski kekecewaan yang ia hadapi juga lebih banyak dibanding kalau ia hanya menjadi ibu rumah tangga. mengenal lebih banyak manusia, berarti lebih banyak kecewa. mungkin memang naturnya hidup seperti itu.
tapi saya tidak bisa menghakimi dania. jalan hidup orang berbeda-beda, standar kebahagiaannya berbeda-beda. kalau dania bahagia menjadi ibu rumah tangga, mengapa tidak? setidaknya, dania tahu jawabannya, dania tahu tujuan hidupnya. menjadi istri dan ibu rumah tangga. titik.
saya sendiri bagaimana? memangnya saya sudah tahu mau berbuat apa? begitu banyak rencana, impian, tapi tidak fokus. lagi-lagi, saya bingung. saya, si manusia setengah-setengah ini, si manusia pseudo, si manusia semi, jadi berpikir ulang. saya mau ngapain sebetulnya dengan sisa hidup saya?
otak saya terlalu banyak pertanyaan, tetapi sedikit jawaban. saya ingin seperti dania, yang bisa menjawab dengan tegas dan lantang, "gue mau jadi ibu rumah tangga!"
tiba-tiba saya sedikit was-was. jangan-jangan saya lagi menjalani hidup yang terbuang sia-sia. hidup yang dihabiskan untuk terus bertanya, mencari jawaban, tapi tidak ketemu-ketemu. saya tersenyum getir, perut tiba-tiba keroncongan, membuyarkan lamunan -- pertanda bahwa saya masih menjalani hidup, entah sia-sia atau tidak. sekarang saya cuma ingin makan nasi padang dan minum es teh manis. itu dulu saja tujuan hidup saya untuk hari ini.
No comments:
Post a Comment