What makes us Indonesians?
Dalam esainya yang berjudul Puisi Besar, Sutardji Calzoum Bachri
menulis dengan menarik mengenai bagaimana puisi yang besar sesungguhnya mampu
memberikan inspirasi dan hikmah bagi masyarakat dan bangsa. Ia menyebut contoh
salah satu puisi besar yang pernah tercipta dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Puisi yang seharusnya ditulis dengan tambahan tanda kutip, karena statusnya
yang tidak pernah dipandang sebagai puisi. ‘Puisi’ apa itu?
Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928.
Kendati tidak pernah dianggap
secara pasti sebagai sebuah karya literatur maupun puisi, Sutardji mengajak
pembaca untuk melihat teks Sumpah Pemuda sebagai sebuah puisi yang ternyata
mampu memenuhi kriteria teks puisi masa kini. Layaknya puisi pada umumnya, teks
Sumpah Pemuda menciptakan sebuah imajinasi. Dunia yang masih berada dalam
angan, bahwa pada saat itu, putra-putri
Indonesia berbangsa satu, ber-tanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia
merupakan in absentia, masih belum
hadir dalam realitas masyarakat saat itu. Dan teks ini, sebuah karya literatur
sederhana ini, berhasil menyulut semangat persatuan para muda-mudi akan sebuah
konsep yang masih belum hadir. ‘Puisi’ Sumpah Pemuda menjadi titik tolak
gejolak perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Sebuah puisi hanya merupakan
salah satu dari begitu banyaknya ragam kesenian dan kebudayaan dari sebuah bangsa.
Kebudayaan itu memiliki makna yang begitu besar bagi sebuah bangsa. Berbeda
dari syarat terbentuknya negara yang meliputi wilayah, pemerintahan, hingga
pengakuan—kepribadian sebuah bangsa terbentuk dari nilai-nilai lokal yang ada
di masyarakat. Nilai-nilai yang kemudian berkembang menjadi kebiasaan dan
menjadi kebudayaan.
Sayangnya, seiring waktu dan
tren yang berlalu, semakin sedikit masyarakat yang mau mengapresiasi kebudayaan
lokal. Dan media, dalam hal ini, sangat berperan besar. Media membentuk kebudayaan artifisial, mengadaptasinya dari kebudayaan lain,
mempublikasikannya secara luas dan mencekokinya pada masyarakat.
Lepas dari pertikaian yang tak sudah-sudah dengan negara tetangga, seni sastra Indonesia merupakan
sesuatu yang wajib dikonsumsi para pelajar di Malaysia. Sebut saja karya-karya
Pramoedya Ananta Toer, puisi-puisi Chairil Anwar. Apa yang di sini hanya pernah
kita dengar atau selewat kita baca, di sana diapresiasi dan bahkan dijadikan
bahan diskusi pelajaran yang wajib.
Tak
heran bahwa ketika situasi mengancam, muncul lah apa yang disebut sebagai
nasionalisme semu. Kecintaan semu pada budaya lokal. Memakai baju batik menjadi usaha pembuktian diri pada dunia, bahwa setelah pergulatan dengan Malaysia, batik adalah
kebudayaan Indonesia.
Tentu saja tidak ada yang salah
dengan membela kebudayaan kita. Hanya satu yang disayangkan, bagaimana kita
baru dapat cepat bereaksi ketika gengsi bangsa mulai dipertaruhkan. Di lain
waktu? Silahkan jawab sendiri, saya pun masih bergumul.
Mengapresiasi kebudayaan asli
Indonesia bukan hanya sekedar ekspresi
cinta kita terhadap budaya bangsa. Layaknya teks Sumpah Pemuda yang mengawali
kesadaran bangsa akan persatuan, kebudayaan lokal merupakan cerminan diri kita,
jati diri kita sebagai sebuah bangsa, apa yang membentuk kepribadian bangsa
kita. Mengapresiasi kebudayaan bangsa sendiri berarti mengapresiasi hakikat
diri kita secara individual pula. Jangan biarkan jati diri kita menghilang,
jangan biarkan kebudayaan kita menghilang.
yah lumayan. dimuat di majalah kampus. portofolio, portofolio! :p
No comments:
Post a Comment