sebegitu saktikah emosi, sehingga ia bisa menjauhkan yang dekat?
mendekatkan yang jauh?
membicarakan yang di belakang?
menusuk yang di depan?
merusak kepercayaan dan harapan?
sebegitu besarkah ego, sehingga ia bisa merubah persepsi?
merubah hidup sekalian, kalau saja kesempatan memberi tanda persetujuan?
menyebar fitnah,
racun,
dusta,
fakta yang dirasuki fiksi,
hingga merusak nama yang telah dibangun bersama dengan keringat bercucuran, malam-malam panjang, air mata, dan dingin yang menusuk tulang?
maka, sebegitu bodohkah mulut sehingga mau-mau saja menjadi media pengemban dosa?
dituduh generalisasi sekilas bahwa eksistensinya hanya membawa masalah?
disalahkan dalam kitab suci,
dituding oleh masyarakat,
ditampar ketika terus bercuap,
dibubuhi rawit panas ketika berdusta,
sementara ia hanya mengemban tugas dari emosi dan ego?
karena mata tak mau berbohong, toh ia jendela dunia,
terlalu sering dijadikan barometer pengukur kejujuran.
karena tangan memilih untuk terikat di belakang,
merasa terlampau keras dan kejam jika harus ikut campur.
karena kaki harus terus berpijak di tanah,
melayang-layang hanya akan membesarkan kepala hingga akhirnya meledak.
karena ketika semua menolak,
mulut terpaksa menerima jabatan prestisius dari emosi dan ego.
"penyambung lidah, seperti nabi",
mungkin itu iming-iming dari emosi dan ego.
lantas.
siapa sesungguhnya yang harus dikekang, diikat, ditahan, ditampar, dibubuhi rawit?
sang mulut?
atau emosi dan ego?
No comments:
Post a Comment