“Kalau ini jari telunjuk,” Ia mengacungkan sebuah jari, menunjuk ke atas. “Buat nunjuk Tuhan di atas surga.”
“Kalau ini ibu jari,” lanjutnya, “Seperti OK?”
“Kalau ini jari manis,” senyumnya sambil mengelus pelan jari yang ideal itu, “Nanti kalau menikah cincinnya dipasang di sini.”
“Kalau ini kelingking,” keempat jarinya ia tekuk, sisa si kecil yang kurus di ujung tangan, “Paling kecil, paling lemes, tapi paling imut."
“Kalau ini?”
Dengan tegas ia mengacungkan sebuah jari terpanjang dari tangannya. Tepat di depan wajahku.
Aku tertawa, “Dia beda, gak punya nama keren. Ya namanya cuma jari tengah aja.”
Aku menurunkan jari tengah kecilnya yang masih terpampang di depan hidungku, terganggu. Untuk orang yang telah hidup lama, jari itu memang emblem ketidaksopanan.
Tapi ia mengeleng.
“Ada, kok. Fuck you.” ucapnya, entah memang polos, entah bermakna implisit.
Sedetik kemudian ia kembali asyik dengan boneka beruangnya.
anomie?
You tell me.
*Ketika kekuatan media meracuni mulut penerus bangsa dan mendistorsi harga diri jari tengah.
.nes, it's not exaggerating. it's just amazing. :D
ReplyDeletehahaha iya deh ji. gak lebay deh lo gak lebay.
ReplyDeletethanks! :D