memperhatikan setiap orang di sekeliling, dengan segala keunikannya, kebiasaannya. menjadi setitik debu kecil di tengah cengkerama, tawa, desahan, senyuman, desisan. menjadi kasat mata bagi dunia yang sibuk di sekeliling. menjadi pengamat. meneliti, tanpa harus membuat sebuah laporan tertulis. mencatatnya dalam pikiran, menebak-nebak apa sekiranya yang sedang dialami setiap aktor kehidupan itu.
apa perannya? kueksposisikan.
latar belakangnya, perkiraan setting tempat waktu dan suasana, semua aku yang mengatur. merasa menjadi Tuhan, aku menciptakan dunia kecil dimana imajinasi dan ekspektasi pribadi menempati anak tangga teratas.
apa konfliknya? sejak detik berapa tepatnya sebuah aksi mulai meninggi? kapan klimaks? kapan resolusi?
semua kutebak. kukarang. dan sekiranya aku terhibur, karena masih ada imajinasi yang mau menemani ketika aku terisolasi dari dunia. karena masih ada para aktor kehidupan itu, rela dijadikan sampel pengamatan, meski mereka tak tahu dan kemungkinan pun tak mau andaikan tahu.
seorang lelaki tua beretnis Tionghoa menghisap rokoknya dalam-dalam, begitu mendalam, kuperhatikan. alisnya hingga bertaut, matanya memejam, pipinya kempot seiring semakin dalam isapannya. seolah ia ingin bersatu dan melebur dengan asap nikotin. ia terbatuk keras, lalu mendecak kesal. asapnya mengitari orang-orang di sekitarnya, namun tak ada yang ambil peduli. asap tembakau telah menjadi bagian normal dari hidup. penyakit kanker telah menentukan lamanya hak manusia untuk merasai bumi, namun malaikat maut dijadikan terdakwa.
lelaki tua itu tampak merenung. entah apa yang direnungkannya. bisa saja istri yang sakit-sakitan di rumah, atau anak durhaka yang telah lama tidak berkunjung. bisa saja ia sedang melakukan perjalanan waktu, terbawa dalam mesin waktu imajiner yang terbuat dari serat-serat memori, mengunjungi masa lampau. masa-masa ketika rambutnya masih lagi hitam (terkadang pirang kemerah-merahan demi tuntutan pergaulan), ketika mukanya masih lagi mulus tanpa kerut, ketika ia mampu merokok dan menghisap cerutu hingga dadanya menggembung tanpa harus terbatuk seperti barusan.
tiba-tiba ia pergi. perannya dalam naskah koinsidentalku berakhir dengan batang rokok yang dijatuhkan secara sengaja dan diinjaknya menggunakan sandal rumahnya.
ia melangkah pergi. mungkin untuk membeli rokok lagi. mungkin ia memang ingin mati. siapa yang tahu? jangan percaya, ini hanya hibrida antara imajinasi dan suasana hatiku sebagai sutradara yang kebetulan saja suram. bisa saja suratan takdir hidupnya berubah saatku sedang dilanda bahagia, entahlah.
apa itu yang terjadi pada manusia? mengapa jalan hidup setiap orang berbeda-beda? nasib orang berbeda-beda? apa tergantung rasa yang sedang dikecap Tuhannya masing-masing? saat Tuhan sedih, muramlah hidupnya. saat Tuhan tertawa senang, muluslah jalannya?
begitukah?
totaliterkah Ia? otoriter? fasis?
ah tapi lagi-lagi, ini subjektivitas pemikiranku. suasana hati yang murung dan hari yang mendung menghasilkan persepsi ketuhanan yang tanggung. lagipula, siapa ini aku sehingga menyamakan diri dengan yang di atas sana?
aku jelas-jelas bukan Schopenhauer yang dengan berani bisa mencari ribut dengan Tuhan dan umat-Nya dengan mengatakan, dunia ini diciptakan bukan oleh sebuah entitas penuh kasih, tapi entitas jahat yang membawa makhkuk hidup ke dalam lingkup eksistensi hanya untuk melihat mereka menderita.
aku hanya mahasiswa Semester 5 dengan kadar imajinasi yang berlebihan.
hujan berhenti.
sinar matahari benar-benar turun menyusupi celah-celah tenda, seolah menyadarkanku untuk pulang dan memberi kehidupan pada perutku.
tapi aku tak bisa berhenti. pantatku menempel pada kursi besi ini, mataku masih bergerak-gerak liar, mencari siapa sekiranya manusia yang bisa kujadikan bahan observasi? yang bisa kujadikan mangsa imajinasi. tak kusangka, kesendirian itu ternyata sebuah candu.
tanganku mulai bergerak, mencoret-coret kertas di depanku. sementara itu setiap manusia yang ada di tempat ini telah beranjak menyambut mentari sehabis hujan siang paskah, melewatiku tanpa memiringkan bola mata. seolah aku kasat mata. seolah aku bukan manusia.
apa ini berarti aku dewa? roh? Tuhan?
demi ilmu pengetahuan dan kesejahteraan seluruh umat manusia, apa coba yang kukicaukan dari tadi. perut meraung lagi, ponsel pun berteriak-teriak minta diberi asupan arus listrik agar hidup kembali.
aku beranjak dari tempatku. bukan sekedar untuk menyambut mentari, tapi untuk hidup.
random writing @ Downtown Walk Summarecon Mal Serpong
24th April 2011. sekitar jam satu siang, sepulang ibadah paskah. lapar, bokek, terjebak hujan.
:) kesendirian ternyata sebuah candu.. memaaang.. hahha.. dan gw juga suka ngamatin orang kaya yang lu lakuin nes.. :)
ReplyDeletelike this nes.. menikmati bgt gw bacanya :) setuju nes sama tulisan lo.. gw juga sering bgt ngelakuin hal yang sama kayak yang lo lakukan :)
ReplyDeletemakanya kesendirian itu kadang nagih ya, tergantung sebijaksana gimana lo membagi porsinya. relatif juga, tergantung waktu dan sikon.
ReplyDeletelagian, ngamatin orang bukan berarti kepo kan? hahaha
btw thanks for the comment girls! ;D