Aku suka saja memperhatikannya. Senyum itu, wajah manis itu,
rambut indah yang hitam panjang itu, bagaimana dia memeluk dan mencintai hidup.
Aku, yang sudah tidak bisa melakukan apa- apa ini merasa terhibur dengan
semangat dan vitalitas luar biasa yang terpancar dari matanya, dari langkahnya,
dari tawanya, dari setiap kata yang meluncur dari bibirnya.
Tanpa terasa, minggu berlalu dan aku tetap bertahan di posisiku
sekarang. Memperhatikan. Mengobservasi. Tingkahku sudah seperti seorang
peneliti, dan ia adalah subjek penelitianku. Ya, minggu berlalu dan aku masih
setia mengamati kehidupannya. Terkadang aku ikut tertawa saat ia tertawa,
terkadang juga aku menangis seolah deritanya adalah deritaku. Tak ayal, aku
bisa marah- marah dan geram sendiri pada kejadian buruk yang menimpanya, gemas
melihatnya tetap tersenyum saat problematika kehidupan menimpanya. Ingin aku
melihatnya marah. Ingin sekali.
Bulan berlalu. Observasi yang kulakukan padanya masih berjalan.
Tapi sekarang bukan hanya sekedar sebuah penelitian. Ada perasaan aneh saat aku
kembali duduk di kursi ini, bersila dan mengambil teropong untuk
memperhatikannya. Sedikit saja aku ketinggalan gerak geriknya, aku bisa mencak- mencak sendiri.
Tidak ada orang yang peduli pada perubahan emosiku, mungkin karena
mereka pikir aku tidak mempunyai emosi apa- apa di dalam batin kosong yang
berdebu ini, entahlah. Manusia sekitar sudah membuangku dan semenjak itu aku
tak lagi mau ambil pusing. Lakukanlah apa yang kau mau, dunia. Tinggalkan saja
aku. Senyum kecil yang merekah di bibirku belum tentu disadari dunia.
Tetesan air mata dari mata sayuku juga pasti tak dihiraukan dunia.
Dunia membuangku. Aku si sampah dunia.
Bulan keempat sudah berlalu, dan ia tetap sama seperti
sebagaimananya ia dahulu, saat aku baru mulai tertarik padanya. Kini aku mulai
merasa terikat pada kepribadiannya. Seolah apa yang ia rasakan bisa aku rasakan
juga. contohnya saja, hari ini ia belum menangis, tapi aku sudah merasakan rasa
sakit di hatiku. Secara kasat mata, ia masih tersenyum dan terlihat ceria. Tapi
hatiku sakit tanpa alasan. Aku sendiri tahu alasan satu- satunya adalah dia.
Aku tidak punya lagi urusan dengan dunia, kan? Dia mungkin satu- satunya alasan
aku masih hidup. Aku hidup untuk memperhatikannya.
Menit berlalu, dan aku ingin menangis, tapi ia masih tertawa
dengan teman- temannya.
Tak bisa kutahan lagi, air mataku menetes. Bersamaan dengan
menetesnya air mataku, ia tiba- tiba menangis. Manusia- manusia itu sudah pergi
dan kini ia sendiri. Tawanya lenyap, dan ia merosot, berjongkok di sudut ruangan
dan menangis. Tiap sedu sedan dari diriku senada mengalun dengan sedu sedan
nya. Tetesan air mataku berirama dengannya. Aku merasa satu dengannya. Ia
adalah aku dan aku adalah dia, entah bagaimana menjelaskan fenomena ini.
Tahun berlalu dan semua semakin terlihat kompleks. Kompleks karena
adanya suatu reaksi yang bertolak belakang. Sinar darinya menggelap. Tawanya
kian menghilang, senyumnya pun meredup. Lepas dari itu, aku malah merasa
bahagia. Meluap- luap, ada perasaan aneh yang menggebu- gebu dari dalam diriku,
memaksaku untuk tertawa lepas hingga meneteskan air mata. Semangat hidupku
bangkit kembali, mungkin aku harus berterimakasih padanya. Ia telah menularkan
semangatnya padaku secara tidak langsung.
Hari ini aku bangkit dari kursi berdebu itu, dari posisi
bersilaku. Aku membersihkan ruangan tempat aku berdiam diri ini dari debu dan
kenangan buruk. Aku memandang wajahku di cermin dan sadar bahwa aku tampan. Aku
membersihkan diri dan menuju dunia untuk pertama kalinya. Angin menerpaku, dan
baru saat ini aku sadari betapa segarnya oksigen yang berdesak- desakan masuk
dan memenuhi paru- paruku. Aku tertawa dan berkata, “Tenang, oksigen. Kalian
semua mendapat tempat di rongga tubuhku kok!” lalu aku tertawa lagi,
bahagia. Sungguh sangat bahagia. Jalan- jalan yang kulewati tampak berwarna,
semua orang menyapaku dengan riang. Seorang anak kecil tersenyum memamerkan
giginya yang baru tumbuh beberapa padaku, seorang wanita cantik mengedipkan
matanya padaku, seorang pengamen jalanan memainkan alunan musik terindah dari
gitarnya yang tertutup stiker- stiker usang.
Kutekankan sekali lagi, aku bahagia. Hari ini dunia kembali
menerimaku, memelukku dalam keindahannya yang rupawan. Hatiku membuncah dan aku
berjalan pulang sambil menari- nari kecil. Besok aku ingin melakukan ini lagi,
pikirku. Aku akan memakai setelan baju terbaikku, menyemprotkan minyak wangi
pada tubuhku, dan aku akan turun lagi ke jalan, beriringan dengan dunia dan
semua manusia lainnya di dalamnya. Besok, aku akan kembali 'bermanusia'.
Dalam perjalananku menuju gubuk kecilku yang mulai menampakkan
warna dan tanda- tanda kehidupan, refleks aku menghentikkan langkahku di depan
rumahnya, rumah gadis manis berambut panjang yang penuh semangat itu. Entah
kenapa, rumahnya lah yang kini terlihat gelap. Bobrok. Tak ada sinar- sinar
kehidupan. Ia juga tak terlihat lagi. Tawanya tak lagi kudengar, derapan
langkah kakinya yang seolah menarikan tap
dance sudah tak bergema lagi
di telingaku.
Aku mengernyitkan dahi, lalu melangkahkan kakiku menjauh. Sudahlah,
lupakan saja, sekarang hidup ada di depan mataku, memintaku untuk memeluk
dirinya yang abstrak. Maka aku pun melupakannya, si gadis manis berambut
panjang itu.
*
Sukacitaku hilang. Ada yang mencurinya, walau aku tak tahu siapa
atau apa dan bagaimana caranya serta sejak kapan. Yang aku tahu, suatu pagi aku
terbangun dengan perasaan aneh, seolah sebagian jiwaku pergi menghilang. Aku
merasa kosong, seolah ada yang menarik ceria dari jiwaku. Aku sungguh tak
mengerti, tapi senyuman tak bisa lagi kulontarkan. Kenapa? Berulang kali aku bertanya pada udara
di sekitarku.
Aku dulu adalah gadis ceria yang berambut panjang dan manis, itu
kata banyak orang padaku. Memang aku terkadang menangis di dalam gelap, tapi
lepas dari itu aku masih bahagia. Tapi sekarang? Aku takut. Ada yang mencuri
kebahagiaanku, senyumku, tawaku, vitalitas hidupku dari hadapanku. Aku
terbangun dengan perasaan takut dan tidak dihargai. Aku lupa bagaimana caranya
tersenyum. Saat aku menarik kedua bibirku menjauh ke masing- masing sisi, aku
malah merasa sakit. Dan jelek. Ya Tuhan, aku jelek sekali.
Aku pusing tak karuan, marah- marah dan menyalahkan hidup atas
semuanya. Tidak ada
orang yang peduli pada perubahan emosiku, mungkin karena mereka pikir aku tidak
mempunyai emosi apa- apa di dalam batin kosong yang berdebu ini, entahlah.
Manusia sekitar sudah membuangku dan semenjak itu aku tak lagi mau ambil
pusing. Lakukanlah apa yang kau mau, dunia. Tinggalkan saja aku. Senyum kecil
yang merekah di bibirku juga belum tentu disadari dunia. Tetesan air mata dari
mata sayuku juga pasti tak dihiraukan dunia.
Dunia membuangku. Aku si sampah dunia.
Otakku diambil alih oleh kesedihan dan amarah serta perasaan putus
asa. Tak ada gunanya aku hidup. Tapi tiba- tiba, dalam kesedihanku aku melihat
seorang lelaki tertawa bersama teman- temannya di jalanan, ia menertawakan
tawaku, menyunggingkan senyumku, dan melangkahkan langkah kakiku yang seolah
menarikan tap dance. Ia
bahagia sekali, aku suka sekali melihatnya. Aku sadar aku tertarik padanya,
pada tiap gerak geriknya, tiap senyumnya. Ia juga tampan sekali, ah indah
sekali hidupnya.
Tanpa sadar, aku meraih teropong di sebelahku. Aku mengambil
posisi duduk bersila di atas kursi, dan mulai mengamatinya. Ikut tersenyum
bersamanya dan menangis bersamanya.
*
Sudah beberapa hari ini aku, si gadis manis berambut panjang,
mengamatinya. Mengobservasi tiap aktivitasnya, melihat tiap gerak- geriknya,
memperhatikan tiap senyum dan tangisnya.
Jangan sebut aku seorang penguntit, karena aku masih waras…