berhubung secangkir kopi sudah dibuat, aku memutuskan untuk duduk. mengambil posisi terenak untuk kembali mengumbar rindu padamu, tempat pembuangan emosi dan rasa.
rindu pada malam-malam larut dimana hanya kamu dan aku yang hidup, aku mencurahkan semua pikiranku dan kamu mendengarkanku dengan sabar, tak bersuara karena kamu tak perlu begitu.
kamu yang membutuhkan aku untuk tetap eksis, dan aku yang membutuhkan kamu untuk tetap berada di batas kewarasan dan kewajaran.
kamu yang membuat aku seringkali mendapat label introvert. tertutup. tapi mau kemana lagi aku pergi? hanya kamu dan secangkir kopi ini yang mau mendengar tanpa membantah. tanpa mengomentari. tanpa menghakimi.
karena kamu tahu kan, terkadang yang kita perlukan bukan nasihat, tapi telinga yang mau mendengar. toh terkadang sepi jauh lebih baik daripada ramai. meski terkadang ramai itu dibutuhkan juga, ketika sepi melampaui batas wajar dan waktu.
tempat sampah.
itu yang seringkali lebih dibutuhkan. tapi manusia cenderung terlalu sok tahu dan peduli untuk memberi komentar dan menggunakan mulutnya, tak mengindahkan telinga yang sebenarnya siap sedia.
dan aku tak perlu mulut saat ini, hanya telingamu dan kesunyianmu yang membius.
sementara aku mencurahkan semua yang tak terbendung, dan kamu terdiam. ditemani secangkir kopi, jarum jam yang terus berputar, dan senandung lagu yang terkadang kau utarakan karena permintaan dariku.
setia.
membisu.
saat ini kau yang kubutuhkan.
tapi jangan kira kau selalu menjadi kebutuhan.
satu permintaanku saat ini, tolong jangan rusak lagi,
laptop.
No comments:
Post a Comment