Tentu saja, konsekuensi dari bahagia yang sederhana itu adalah, ia cepat berlalu. Sesaat sebelum suapan nasi terakhir, aku biasanya akan merasa sedikit kehilangan. Seolah satu gelembung sabun yang ditiup, mengawang sekian detik dengan indahnya di udara, lalu meletus. Bahagiaku terlalu cepat berakhir.
Tapi untungnya, seperti gelembung sabun yang bisa terus diproduksi selama masih ada sabun, ia gampang diwujudkan. Kebahagiaan kecil berupa makan siang di hari libur sembari menyalurkan hobi menonton dan membacaku adalah kegiatan yang tidak sulit dicapai. Aku tinggal menunggu momen akhir pekan atau hari libur berikutnya. Dengan kata lain, ada optimisme di situ. Pengharapan akan hari esok. Lucu, sesuatu yang terlampau sederhana dan lekas seperti itu sudah cukup membuatku ingin tetap hidup.
Bahagiaku semakin sederhana, juga lekas. Tapi, apakah kualitas kebahagiaan berarti menurun? Dalam percakapan setengah mabuk dengan sejumlah teman, pada suatu malam Sabtu, temanku yang memang pembaca ulet, mengutip filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram. Aku sedikit lupa rincinya kata-kata temanku karena saat itu aku pun sudah mulai sedikit teleng.
Tapi intinya, menurut Ki Ageng Suryomentaram dan ilmu bahagianya, kebahagiaan dimulai dari diri sendiri. Dari menengok batin atau jiwa diri sendiri, menjajaki dan mengenali diri sendiri. Bukan orang sekitarmu. Semua tergantung kontrol dirimu. Aku jadi teringat ajaran stoisisme di zaman Yunani Kuno, yang sekarang mulai dimunculkan lagi dalam bentuk buku-buku self-help untuk membantu manusia modern menjalani hari-hari yang semakin penat.
Aku juga jadi teringat ajaran Taoisme-nya Lao Tzu. Knowing others is wisdom, buat knowing the self in enlightenment.
Terima saja, kita lahir ke dunia ini sendiri, dan akan mati sendiri pula. Kita menjalaninya juga sendiri, mungkin iya dengan bantuan orang-orang sekitar kita, karena bagaimanapun juga kita adalah makhluk sosial -- dikasihi untuk bisa mengasihi diri, dipahami untuk bisa memahami diri. Tapi pada dasarnya, semua kembali pada diri sendiri, itu faktor utama -- mengasihi diri untuk bisa dikasihi, memahami diri untuk bisa dipahami.
Aku mengawali tahun ini dengan semangat yang sama dengan Ki Ageng Suryomentaram. Aku ingin mengenal, memahami, dan mencintai diri sendiri. Suatu proses yang sulit, yang kusadari sangat penting karena akan berpengaruh pula pada bagaimana aku mencitrakan diri dan memperlakukan orang lain di sekitarku. Sesederhana kutipan-kutipan klise di film-film romantis, atau buku-buku novel remaja, bagaimana kau mau mencintai orang lain kalau tidak mencintai dirimu sendiri. Kata-kata klise itu memang lucu. Mereka sebenarnya mengandung filosofi hidup paling mendasar dan kebenaran yang mencerahkan, tetapi kehilangan makna akibat frekuensi penggunaan yang terlalu berlebihan.
Kembali soal kualitas kebahagiaan. Apakah bahagia yang lebih sederhana itu sesuatu yang baik atau buruk? Apakah bahagia karena bisa makan siang dengan santai di hari libur lebih rendah nilainya daripada bahagia karena menemukan jodoh, karena mendapat promosi, atau karena bisa berjalan-jalan keliling Eropa? Kembali lagi, bahagia kembali ke diri sendiri. Apakah aku bahagia ketika sedang makan siang? Sangat. Apakah level kebahagiaannya sama dengan disapa oleh gebetan? Sejujurnya, kurang lebih, entah bagaimana, sama. Apakah setelah itu aku masih bahagia? Tidak terlalu, biasa saja, karena momen bahagia makan siang memang hanya sesaat, tergantung secepat apa kau menghabiskan makan siangmu. Tapi pada saat makan, aku bahagia, aku ingin selama mungkin memperpanjang momen makan siang itu.
Apakah aku bahagia ketika melakukan pekerjaan bagus dan diberi kepercayaan akan pekerjaan lebih besar? Aku bahagia. Bagaimanapun, mengutip Maslow, aktualisasi diri itu ada di diagram teratas segitiga kebutuhan manusia. Tapi ternyata tidak sebahagia makan siang di hari libur. Karena setelah bahagia itu, muncul rasa khawatir dan rasa takut apakah aku layak, apakah aku bisa melakukannya. Seorang pseudo-perfeksionis sepertiku dengan mudah bisa membalikkan suatu pencapaian ke kekhawatiran eksistensial. Apakah aku bahagia ketika bertemu seorang pria baik, menarik, dan asyik diajak berbicara? Bahagia. Tapi sejarah kehidupan cintaku telah mengubahku menjadi seorang pesimis yang realistis. Bahwa cinta punya tenggat. Ada expiration date yang tidak diketahui kapan -- bisa cepat, bisa saja lama, tapi bahwa pada suatu titik akan berakhir. Maka, apakah aku bahagia? Tentu saja bahagia, tapi dilapisi perasaan lain berupa was-was, antisipasi kekecewaan serta patah hati. Tetap tidak sebahagia makan siang di hari libur sambil membaca buku atau menonton film favoritku. Karena kegiatan itu begitu sederhana, makan siangku tidak akan membuatku kecewa dan patah hati, makan siangku tidak membuatku khawatir dan krisis kepercayaan diri -- apalagi krisis eksistensial.
Standar kebahagiaanku semakin sederhana, tapi bukan berarti roso, rasa bahagia di dalam diriku, berkurang kualitasnya. Kenyataan hidup yang pahit saja yang membuatku lebih suka menggantungkan kebahagiaanku pada hal-hal sederhana, momen-momen kecil seperti menikmati makan siang di hari libur yang santai.
Memang, di satu sisi, standar bahagia yang sederhana bisa saja dipandang sebagai cerminan kualitas hidup yang memburuk. Atau, gambaran kesadaran manusia yang pelan-pelan mulai terbentuk terhadap fakta bahwa hidup itu tidak semanis gula-gula kapas, tapi sama rapuhnya.
Bisa saja. Tapi aku memilih meneropong dari sudut lain. Bahwa, yang terpenting, aku masih bisa bahagia.
Seperti tetap tampil menawan dengan baju bekas murah yang dibeli di Pasar Senen dan direndam seharian dengan cairan Dettol. Kualitas bahagiaku tidak berkurang, meski bahagiaku receh. Karena pada saat aku makan siang dengan santai di hari libur sembari menonton ulang Friends, siang ini, aku bahagia, tanpa rasa khawatir. Sebahagia-bahagianya bahagia.
Itu diriku, standar kebahagiaanku yang akan aku nikmati selagi ada, di tengah hidup yang pahit asam manis kecut, seperti nano-nano ini.